Kamis, 09 Februari 2012

Penataan Ruang dan Korupsi (Studi Kasus Provinsi Riau)

Abstrak
Beberapa titik rawan tindak pidana korupsi dalam penataan ruang adalah: 1)Penyusunan rencana tata ruang, 2)Pelaksanaan tata ruang, 3)Penertiban tata ruang. Pada saat proses penyusunan sangat diwarnai oleh kepentingan sektoral dan dunia usaha baik itu Pertambangan, Perkebunan maupun kehutanan (Korupsi pembuatan aturan perundangan). Pada saat pelaksanaan rentan tejadinya pemberian izin yang melanggar tata ruang (korupsi perizinan). Pada saat penertiban
ketika pelanggaran ditemukan tidak bisa  dilakukan penegakan hukum. (Judicial Corruption).Pembahasan tindak pidana korupsi akan difokuskan pada tiga hal diatas dengan mengambil studi kasus provinsi riau.
Pada tahapan perencanaan proses yang berjalan di provinsi riau telah lebih dari sepuluh tahun, prosesnya diwarnai tarik menarik kepentingan antara Kementrian kehutanan, pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten. Proses penyusunan rencana tata ruang provinsi riau dimulai dengan pemutihan atas pelanggaran perizinan masa lalu. Pada tahap pelaksanaan akan kita bahas pelanggaran perizinan terhadap tata ruang sebelumnya, baik terhadap rencana tata ruang provinsi maupun terhadap TGHK. Pada tahap penegakan hukum akan dibicarakan izin yang dikeluarkan mentri kehutanan yang melanggar Rencana tata ruang nasional, TGHK, RTRWP maupun rencana tata ruang  kabupaten.
Pada bagian akhir akan dibahas tentang perlawanan secara konstitusi oleh departemen kehutanan terhadap UU Penataan ruang dengan membenturkan dengan UU kehutanan yang juga tidak secara konsisten dilaksanakan.
1.  Pendahuluan
Provinsi Riau terletak di bagian timur sumatera dengan luas daratan 9,4 juta ha, 40% diantaranya merupakan dataran rendah yang bergambut dan sebagian diantaranya dipengaruhi pasang surut . Arahan spasial penggunaan lahan sudah diatur oleh Perda No 10 tahun 1994 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Riau (RTRWP).
Sebelumnya telah ada Kepmen No 173 tahun 1986 tentang Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Sampai saat (Agustus 2011) ini perbedaan fungsi antara TGHK dan RTRWP belum ditemukan jalan penyelesaian. TGHK menetapkan 97,8% dari luas wilayah provinsi sebagai kawasan hutan sedangkan RTRWP menetapkan 54% . Upaya pemerintah provinsi untuk menyelesaikan gap tersebut telah telah lebih dari 10 tahun dengan melakukan revisi RTRWP namun belum ditemukan kesepakatan dengan departemen kehutanan. Disisi lain pemberian izin pemanfaatan ruang untuk sector kehutanan, perkebunan dan pertambangan tetap dilakukan dengan melanggar arahan zonasi pada kedua aturan tersebut.
Adanya ketentuan tentang penertiban perizinan dan Sangsi Pidana terhadap pemberi izin dalam UU No 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang merupakan momentum positif dalam
memperbaiki pengelolaan sumberdaya alam yang sudah terlanjur salah dimasa lalu baik itu sector kehutanan, perkebunan maupun pertambangan. Namun poin positif ini mendapat perlawanan secara konstitusi baik oleh pemerintah daerah maupun departemen Kehutanan sebagai upaya untuk melindungi perizinan yang tidak sesuai dengan ketentuan dimasa lalu. Mekanisme perdagangan kayu internasional dan perubahan iklim juga dimanfaatkan oleh departemen kehutanan untuk melindungi perizinan yang tidak sesuai dengan ketentuan dengan mekanisme Sistem Verifikasi Legalitas Kayu dan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (SVLK dan PHPL) serta mekanisme Moratorium Perizinan. Sementara itu, pemberian izin kehutanan masih mengabaikan rencana tata ruang
Penataan Ruang terdiri dari Perencanaan tata ruang, Pemanfaatan Ruang dan Penertiban Pemanfaatan Ruang. Dari Pemetaan Rantai Korupsi Kehutanan di Provinsi Riau  ditemukan beberapa rantai korupsi yang dominan diantaranya: 1) Rantai Regulasi: Perubahan zonasi kawasan hutan dalam rencana tata ruang, 2)Rantai Perizinan: Pemberian izin pemanfaatan hutan yang melanggar ketentuan, 3) Rantai Supply kayu: Perencaan penebangan yang melanggar ketentuan, 4) Rantai penegakan hukum: Gagal menghukum izin yang melanggar aturan, 5)Rantai Riset dan sertifikasi: Penyimpangan riset dan manipulasi terhadap proses sertifikasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar