LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN
NOMOR : 82/KPTS- II/2001
TANGGAL : 15 Maret 2001
KETENTUAN MENGENAI PELAKSANAAN PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN
KAYU PERTUKANGAN PT. SUMATERA SYLVA LESTARI
KETENTUAN I : TUJUAN PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI
Pengusahaan Hutan Tanaman Industri bertujuan untuk:
1. Meningkatkan produktifitas lahan dan kualitas lingkungan
hidup;
2. Menunjang pengembangan industri hasil hutan dalam
negeri guna meningkatkan nilai tambah dan devisa.
3. Memperluas lapangan kerja dan lapangan usaha.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka pengusahaan
hutan tanaman industri dengan Sistem Tebang Pilih Dan
Tanam Jalur dengan kegiatan-kegiatan yang meliputi
penanamanan, pemeliharaan, pemungutan, pengolahan dan
pemasaran hasil hutan sesuai dengan Rencana Karya
Pengusahaan hutan tanaman industri menurut ketentuanketentuan
yang berlaku serta berdasarkan asas manfaat, azas
kelestarian, azas kerakyatan, azas keadilan, azas
kebersamaan, azas keterbukaan dan azas keterpaduan.
KETENTUAN II : PELAKSANAAN
PT. SUMATERA SYLVA LESTARI sebagai pemegang HPH
Tanaman dengan yang untuk selanjutnya disebut
“PERUSAHAAN” melaksanakan pengusahaan hutan tanaman
industri dengan Sistem Tebang Pilih dan Tanam Jalur pada
areal kerja yang telah ditetapkan sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku serta ketentuan-ketentuan
berikut :
A. BIDANG PERENCANAAN
1. Potret Udara/Landsat, Inventarisasi Hutan Dan
Pengaturan Tata Ruang HTI.
a. Potret Udara atau Citra Landsat.
PERUSAHAAN diwajibkan menyerahkan ke
Departemen Kehutanan dan Perkebunan
selambat-lambatnya dalam waktu 18 (delapan
belas) bulan setelah diterbitkan Keputusan
HPH Tanaman:
1) Potret udara skala 1 : 20.000 atau Citra
Spot skala 1 : 50.000/Citra Landsat 1:
100.000 yang meliputi seluruh areal
kerjanya.
2). Indeks...
2) Indeks potret udara di atas drafting film
skala 1 : 250.000 atau lebih besar (apabila
tersedia potret udara).
3) Hasil penafsiran potret udara atau citra
landsat berupa :
a) Buku laporan hasil penafsiran
b) Peta Vegetasi skala 1 : 25.000 dan peta
vegetasi kompilasi (gabungan) skala 1 :
50.000 – 1 : 100.000 yang diberi warna
sesuai keadaan hutannya;
c) Peta garis bentuk skala 1 : 25.000
(apabila tersedia potret udara);
d) Peta kelas lereng skala 1 : 50.000 – 1 :
100.000 (apabila tersedia potret udara).
b. Inventarisasi Hutan
1) PERUSAHAAN wajib untuk melaksanakan
inventarisasi hutan yang meliputi
parameter-parameter lingkungan di
dalam dan sekitar wilayah kerjanya untuk
memperoleh data/informasi yang akurat
dan terbaru mengenai keadaan lahan ,
flora dan fauna, serta sosial budaya
masyarakat di dalam dan sekitarnya.
2) Dalam Melaksanakan inventarisasi hutan
PERUSAHAAN harus berpedoman kepada
ketentuan yang berlaku.
2. Rencana Karya Pengusahaan
a. PERUSAHAAN wajib membuat dan
meyampaikan Rencana Karya Pengusahaan
yang meliputi RKPHTI dan RKTHTI yang harus
disahkan oleh Departemen Kehutanan.
b. RKPHT diserahkan kepada Departemen
Kehutanan selambat-lambatnya 18 (delapan
belas) bulan sejak diterbitkannya Surat
Keputusan ini.
c. RKTHT diserahkan kepada Kantor Wilayah
Departemen Kehutanan setempat selambatlambatnya
bulan Nopember sebelum
dimulainya tahun anggaran tersebut.
3. Penataan Hutan
PERUSAHAAN wajib mengelola seluruh areal
kerjanya dan membentuk unit-unit kelestarian
pengusahaan hutan/kelas perusahaan berdasarkan
RKPHT.
B. BIDANG...
B. BIDANG PEMBINAAN
1. Persemaian
a. PERUSAHAAN harus menyediakan benih dan
bibit melalui persemaian yang baik pada areal
hutan tanaman industri, dimana saat
penanaman selalu tersedia bibit dengan
jumlah cukup, tepat waktu dan berkualitas
tinggi.
b. PERUSAHAAN harus membuat persemaian
menetap (permanen) pada satu lokasi atau
lebih. Memiliki suatu organisasi yang mapan
dengan personil pelaksana tetap dan
memungkinkan pelaksanaan pekerjaan
dilakukan secara efektif dan efisien.
Persemaian dapat digunakan selama jangka
waktu rotasi tanaman serta dapat mendukung
produksi bibit dalam jumlah besar untuk
pemenuhan kebutuhan penanaman dengan
skala yang luas dan berkesinambungan.
c. PERUSAHAAN dapat menyiapkan benih dan
bibit dengan cara bekerjasama dengan
Pemerintah melalui Pusat Persemaian
Permanen yang letaknya tersebar diseluruh
Indonesia. Atau PERUSAHAAN dapat
mengadakan benih unggul dari yang berlabel
dan atau benih yang berasal dari pohon plus.
d. PERUSAHAAN dalam awal kegiatan dari
pembuatan persemaian harus
mempertimbangkan perencanaan yang
mantap, meliputi :
1). Pemilihan atau penentuan lokasi
persemaian harus mempertimbangkan :
sumber air, sumber media, kondisi
tempat, sarana jalan, luas persemaian,
luas penanaman dan lain-lainnya.
2). Penataan ruang persemaian dalam areal
kerja hutan tanaman harus dapat
menciptakan kegiatan yang efisien dan
efektif serta secara langsung akan ikut
menentukan kualitas bibit yang
dihasilkan.
2. Penanaman
a. PERUSAHAAN harus melaksanakan sistem
Tebang Habis dengan Permudaan Buatan
(THPB).
b. Jatah...
b. Jatah penanaman ditetapkan sesuai Rencana
Karya Pengusahaan Hutan Tanaman Industri
yang dibuat PERUSAHAAN, setelah disahkan
oleh Departemen Kehutanan. Dikelola dengan
sistem Silvikultur Tebang Habis Permudaan
Buatan (THPB) yang ditetapkan, dengan
mempertimbangkan sistem silvikultur yang
ditetapkan, kemampuan serta realisasi
PERUSAHAAN dalam melaksanakan pembuatan
tanaman, pemungutan tahun sebelumnya,
jenis tanaman pokok, rotasi tebangan, potensi
(standing stock) dan pertumbuhan volumenya
(riap/growt).
c. Pembangunan hutan tanaman industri
didahulukan pada areal kosong dan/atau
semak belukar.
d. PERUSAHAAN harus melaksanakan kegiatan
pengusahaan hutan tanaman industri dengan
mempergunakan cara-cara penanaman
(pemasangan ajir, jarak tanam, ukuran lobang
tanaman) sesuai dengan keadaan wilayah
kerjanya serta tidak meninggalkan azas
manfaat, kelestarian dan lingkungan.
e. Semua kegiatan pengusahaan hutan tanaman
industri dilaksanakan dengan cara yang tidak
mengakibatkan adanya pemborosan dan
kerugian-kerugian sumber daya alam.
f. PERUSAHAAN tidak dibenarkan menebang jenis
kayu yang dilindungi tanpa izin khusus dari
Departemen Kehutanan.
g. PERUSAHAAN tidak dibenarkan membuka lahan
(Land Clearing) melampaui jatah penanaman,
pemugutan yang telah ditetapkan di dalam
Rencana Karya Tahunan Hutan Tanaman
Industri.
h. Perusahaan dilarang melaksanakan kegiatan
pengusahaan HTI dengan membuka lahan (land
clearing) diluar areal yang telah ditetapkan
didalam Rencana Karya Tahunan Hutan
Tanaman Industri yang telah disahkan.
i. PERUSAHAAN dilarang melaksanakan kegiatan
pengusahaan HTI dengan membuka lahan (land
clearing) dengan cara dibakar.
j. PERUSAHAAN dilarang melaksanakan kegiatan
pengusahaan HTI diluar areal HPH Tanamannya.
k. PERUSAHAAN...
k. PERUSAHAAN tidak diperkenankan untuk
menanam/mengganti jenis tanaman yang telah
ditetapkan dalam studi kelayakan dan atau
RKTHT tanpa seijin Menteri Kehutanan.
l. Kegiatan tumpang sari harus menyesuaikan
dengan kemajuan kegiatan pembangunan
tanaman pokok hutan tanaman industri yang
tercantum dalam RKTHT
3. Pemeliharaan
a. PERUSAHAAN harus melaksanakan
pemeliharaan tanaman dengan cara penerapan
atau tindakan sistem silvikultur untuk
menstimulasikan pertumbuhan tanaman
dengam menentukan tempat tumbuh dan
ruang tumbuh yang optimal, mencegah
serangan hama dan penyakit.
b. PERUSAHAAN wajib melaksanakan
pemeliharaan tanaman pada tahun
berjalan/tahun ke 1 (satu) dengan cara
penyulaman, penyiangan, pendangiran,
pencegahan hama penyakit, tahun ke 2 (dua),
tahun ke 3 (tiga) dengan kegiatan penyiangan,
pendangiran, pencegahan hama penyakit dan
pemeliharaan selanjutnya dengan jenis
kegiatan disesuaikan dengan jenis tanaman
sesuai ketentuan yang berlaku.
C. BIDANG PEMANFAATAN
1. Pemungutan Hasil :
a. Kegiatan pemungutan hasil dilaksanakan
dengan cara yang tidak mengakibatkan adanya
pemborosan dan kerugian-kerugian sumber
daya alam.
b. PERUSAHAAN tidak dibenarkan menebang kayu
pada areal dengan tujuan konservasi/lindung.
c. PERUSAHAAN tidak dibenarkan melakukan
pemungutan hasil melampaui jatah
pemungutan yang telah ditetapkan dalam
Rencana Karya Pengusahaan Hutan Tanaman
Industri dan Rencana Karya Tahunan Hutan
Tanaman Industri.
d. PERUSAHAAN tidak dibenarkan melaksanakan
kegiatan budidaya yang dapat mengganggu
fungsi lindung di areal kawasan lindung.
2. Pengolahan...
2. Pengolahan Hasil :
PERUSAHAAN wajib berperan serta dalam
penyediaan bahan baku bagi industri pengolahan
dan menjadi Bapak angkat bagi industri
pendukung/terkait.
D. BIDANG INVESTASI, KETENAGAKERJAAN DAN
PERALATAN.
1. Investasi
a. Untuk memenuhi Kewajiban-kewajiban dalam
kegiatan pengusahaan hutan tanaman industri,
PERUSAHAAN akan menginvestasikan dananya
sebesar Rp. 109.276.560.000 (seratus sembilan
milyar dua ratus tujuh puluh enam juta lima
ratus enam puluh ribu rupiah).
b. PERUSAHAAN wajib melaporkan pelaksanaan
kegiatan investasi setiap tahun dalam bentuk
isian yang telah ditentukan dan laporan
keuangan akhir tahun yang diaudit oleh
Akuntan Publik dengan berpedoman kepada
Pedoman Standar Akutansi Keuangan (PSAK)
No. 32 sesuai Keputusan Menteri Kehutanan
No. 581/Kpts-II/1994 tanggal 16 Desember
1994 Kepada Departemen Kehutanan selambatlambatnya
pada akhir semester pertama tahun
berikutnya.
2. Ketenagakerjaan
a. PERUSAHAAN diwajibkan mempekerjakan
tenaga teknis dan tenaga ahli lainnya sesuai
kebutuhan.
b. PERUSAHAAN diwajibkan untuk
mempekerjakan tenaga-tenaga ahli kehutanan
yang memenuhi persyaratan di bidang
Perencanaan Hutan, Silvikultur dan
Pengelolaan Hutan sesuai Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku.
c. PERUSAHAAN diwajibkan menyelenggarakan
Pendidikan dan Latihan Tenaga Kerja Indonesia
sesuai kebutuhan, disamping itu PERUSAHAAN
diwajibkan mengikut sertakan tenaga kerja
pada setiap Pendidikan dan Latihan yang
dilakukan oleh Pemerintah sepanjang
menyangkut bidang kegiatannya.
d. Pada setiap terjadinya pemutusan hubungan
kerja, karyawan harus diperlakukan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
3. Peralatan...
3. Peralatan
a. Dalam rangka pelaksanaan kegiatan di areal
kerjanya, PERUSAHAAN diwajibkan untuk
membuat rencana pengadaan/pemanfaatan
dan laporan realisasi tentang jenis, jumlah
serta keadaan per jenis alat berat yang ada di
Lapangan kepada Departemen Kehutanan.
b. Setiap pemindahan peralatan yang digunakan
ketempat lain diluar areal kerjanya perlu
mendapat persetujuan dari Departemen
Kehutanan.
c. Setiap peralatan yang tidak dipergunakan lagi
dan direncanakan untuk dihapuskan agar
dibuat Berita Acara sebagai penghapusan
peralatan.
E. BIDANG PERLINDUNGAN HUTAN DAN PELESTARIAN
ALAM
1. Perlindungan Hutan
a. PERUSAHAAN bertanggung jawab penuh atas
terjadinya kebakaran hutan di areal Hak
Pengusahaan Hutan Tanamannya;
b. Untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan
PERUSAHAAN wajib:
1) Menyediakan sarana Pemantau, Pencegah
dan Pemadan Kebakaran yang memadai
baik dalam jumlah maupun kualitasnya
disesuaikan dengan luas dan kondisi areal
kerjanya dalam bentuk sekat bakar (jalur
kuning, jalur hijau atau kombinasi) menara
pengawas kebakaran dan lain-lain.
2) Ikut aktif melaksanakan pencegahan dan
penanggulangan kebakaran di dalam dan
disekitar areal kerjanya antara lain dengan
mengamankan semua kegiatan serta
mengamankan penyimpanan bahan-bahan
yang mudah terbakar.
3) Segera melaporkan pada instansi kehutanan
dan perkebunan setiap terjadinya
kebakaran di areal kerjanya.
c. PERUSAHAAN harus menghindarkan terjadinya
tindak pelanggaran oleh karyawan atau pihak
lain yang menyebabkan kerusakan hutan atau
lahan hutan dalam areal kerjanya, antara lain
perladangan berpindah, perambahan lahan
hutan dan pencegahan erosi.
d. Apabila...
d. Apabila terjadi perambahan hutan dan atau
tebangan liar oleh pihak ketiga atau pihak lain
yang menyebabkan kerusakan hutan atau lahan
hutan dalam areal kerjanya, antara lain
perladangan berpindah, perambahan lahan
hutan dan pecegahan erosi.
e. Untuk melaksanakan perlindungan hutan
PERUSAHAAN diwajibkan membentuk satuan
pengamanan (SATPAM) dengan kualifikasi
terdidik dan dalam jumlah yang memadai.
f. PERUSAHAAN segera melaporkan setiap
terjadinya gangguan dan atau kerusakan akibat
bencana, hama dan atau penyakit terhadap
tegakan di areal kerjanya.
2. Pelestarian Alam
a. Perlindungan Flora
PERUSAHAAN tidak dibenarkan menebang
pohon-pohon dan memungut tumbuhtumbuhan
lain yang ditetapkan sebagai jenis
yang dilindungi sesuai dengan ketentuanketentuan
yang berlaku.
b. Perlindungan Satwa.
1). PERUSAHAAN wajib mencegah terjadinya
perburuan terhadap satwa liar baik yang
dilindungi maupun satwa liar di areal
kerjanya kecuali dengan izin.
2). PERUSAHAAN perlu menyediakan fasilitas
koridor untuk pergerakan satwa.
c. Perlindungan Obyek-obyek Bernilai Ilmiah dan
Budaya.
1). PERUSAHAAN harus mencegah terjadinya
kerusakan terhadap obyek-obyek yang
bernilai ilmiah dan atau budaya yang
terdapat di areal kerjanya.
2). PERUSAHAAN wajib segera melaporkan
kepada instansi yang terkait apabila
menemukan obyek yang bernilai ilmiah
dan/atau budaya.
d. Pengamanan Kawasan Lindung, Kawasan
Pelestarian Alam dan Kawasan Suaka Alam.
1). Untuk pengamanan obyek-obyek tersebut
PERUSAHAAN wajib membuat daerah
penyangga dengan lebar sekurangkurangnya
500 (lima ratus) meter dari
batas persekutuan/batas areal kerjanya.
2). Sarana...
2). Sarana pengusahaan hutan yang
diperbolehkan diadakan pada daerah
penyangga hanyalah pembuatan jalan
angkutan setelah mendapatkan izin
Departemen Kehutanan.
3. Upaya-upaya penanggulangan dampak lingkungan
harus dilaksanakan sesuai hasil AMDAL yang telah
disetujui.
4. Lain-lain.
Tenaga dan sarana perlindungan hutan dan
pelestarian alam lain yang harus disediakan oleh
PERUSAHAAN, antara lain :
a. Tenaga Satpam dalam jumlah yang memadai.
b. Pos jaga dan portal dijalan masuk areal kerja.
c. Rambu-rambu larangan dan peringatan.
F. BIDANG PENELITIAN
Dalam rangka mencegah, mengurangi dampak negatif
yang mungkin timbul , dan meningkatkan dampak positif
dari kegiatan pengusahaan hutan tanaman industri,
PERUSAHAAN wajib menyediakan petak permanen
(permanen plot) untuk pengamatan pertumbuhan
tegakan (kualitas dan kuantitas) dan erosi.
KETENTUAN III : KEWAJIBAN-KEWAJIBAN LAIN
A. BIDANG KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA
1. PERUSAHAAN wajib memperhatikan atau mengambil
langkah-langkah secara maksimal untuk menjamin
kesehatan dan keselamatan umum karyawan dan
atau orang lain yang berada di dalam areal
kerjanya.
2. Di dalam hal terjadinya kecelakaan-kecelakaan
yang menimpa karyawan PERUSAHAAN atau orang
lain yang berada di dalam areal kerjanya, maka
kepada mereka harus diperlakukan sesuai peraturan
perundangan yang berlaku.
B. BIDANG PEMBANGUNAN MASYARAKAT
1. Fasilitas Pembangunan Masyarakat.
PERUSAHAAN diwajibkan membantu Pemerintah
dalam melaksanakan pembangunan masyarakat di
dalam dan di sekitar areal kerjanya yang antara lain
meliputi :
a. Pengadaan tempat-tempat ibadah.
b. Pengadaan fasilitas-fasilitas pendidikan.
c. Pengadaan fasilitas-fasilitas kesehatan.
2. Kesempatan...
2. Kesempatan Kerja
PERUSAHAAN harus memberi kesempatan kerja dan
pelatihan kepada masyarakat, baik di dalam
maupun di sekitar areal kerjanya.
3. Fasilitas Pengobatan
a. PERUSAHAAN harus mendirikan klinik dengan
kapasitas minimum 6 (enam) tempat tidur
lengkap dengan tenaga medis yang bekerja
penuh untuk PERUSAHAAN.
b. PERUSAHAAN harus menyediakan pelayanan
pengobatan kepada seluruh karyawannya dan
isterinya.
c. Anggota masyarakat setempat walaupun bukan
karyawan PERUSAHAAN dapat turut
menggunakan fasilitas klinik tersebut dengan
biaya seringan mungkin.
d. PERUSAHAAN harus menyediakan pos-pos
pertolongan pertama pada tempat-tempat
yang diperlukan.
4. PERUSAHAAN diwajibkan melaksanakan pembinaan
masyarakat yang ada di dalam/sekita areal kerja
HPH Tanaman-nya sesuai ketentuan yang berlaku.
5. PERUSAHAAN diwajibkan memberikan izin kepada
masyarakat hukum adat/masyarakat tradisional dan
anggota-anggotanya untuk berada di dalam areal
kerjanya untuk memungut, mengambil,
mengumpulkan, dan mengangukut hasil hutan
ikutan seperti rotan, madu, sagu, damar, buahbuahan,
rumput-rumputan, getah-getahan, bambu,
kulit, kayu, dan lain sebagainya untuk memenuhi
atau menunjang kehidupan sehari-hari.
6. PERUSAHAAN diwajibkan membina dan
mengembangkan Koperasi Karyawan dan atau KUD
dan atau Koperasi Primer lainnya yang ada
disekitarnya serta wajib memberikan kesempatan
kepada Koperasi tersebut untuk memiliki saham
PERUSAHAAN.
7. PERUSAHAAN diwajibkan menyisihkan dana
maksimal 5 % (lima persen) dari keuntungannya
untuk pembinaan dan pengembangan golongan
ekonomi lemah/koperasi.
C. BIDANG FASILITAS TEMPAT TINGGAL KARYAWAN DAN
KEGIATAN PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI.
1. Base Camp
Dalam...
Dalam pelaksanaan pembangunan Base Camp,
PERUSAHAAN harus memenuhi ketentuanketentuan:
a. Pembangunan rumah/barak untuk karyawan
harus memenuhi kelayakan ruang tempat yang
sehat.
b. Penggunaan lahan hutan untuk pembangunan
Base Camp harus sesuai dengan kebutuhan
c. Pembangunan Base Camp di areal HPH
Tanaman lain harus ada persetujuan tertulis
dari Pemegang HPH Tanaman yang
bersangkutan.
2. Tempat penimbunan Kayu/hasil HPHTI.
Tempat penimbunan kayu/hasil HPH Tanaman harus
terpisah dari tempat Base Camp.
3. Bangunan lainnya
Bangunan-bangunan lain yang ada dan yang akan
didirikan di dalam areal kerjanya harus
mendapatkan izin Departemen Kehutanan.
D. BIDANG PERUBAHAN LUAS AREAL KERJA
Perubahan luas areal kerja dimungkinkan dan
pelaksanaannya disesuaikan dengan ketentuan peraturan
perndang-undangan yang berlaku.
E. BIDANG HAK-HAK LAIN
PERUSAHAAN tidak mempunyai hak-hak lain selain apa
yang tercantum di dalam Keputusan Hak Pengusahaan
Hutan Tanaman Industri dan kelengkapannya. Hak-hak
lain yang dimaksud adalah meliputi hak – hak atas tanah
hasil hutan non kayu, hak-hak atas mineral, minyak
bumi, gas alam, bahan-bahan kimia, batu-batu mulia
atau setengah mulia, dan sumber-sumber alam lainnya.
KETENTUAN IV : P E N G A W A S A N
Pemerintah melakukan pengawasan terhadap kegiatan
PERUSAHAAN baik mengenai pelaksanaan fisik pengusahaan
Hutan Tanaman maupun semua administrasi/pembukuan dan
surat menyurat pengelolaan PERUSAHAAN.
KETENTUAN V : PELANGGARAN/SANKSI
1. Pengertian Pelanggaran :
Tidak melaksanakan, tidak mentaati dan/atau tidak
memenuhi persyaratan/kewajiban sebagaimana
tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan/atau Keputusan Hak Pengusahaan Hutan
Tanaman Industri Pola Transmigrasi beserta dokumen
kelengkapannya.
2. Pengenaan Sanksi...
2. Pengenaan Sanksi :
Pelanggaran seperti tersebut ayat 1 Bab ini akan
dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundangundangan
yang berlaku.
KETENTUAN VI : KONSEKWENSI TERHADAP HASPUSNYA HAK PENGUSAHAAN
HUTAN TANAMAN INDUSTRI
A. Kewajiban PERUSAHAAN setelah hapusnya HPH Tanaman.
Dalam hal hapusnya Keputusan ini, kepada PERUSAHAAN
tetap dibebankan kewajiban-kewajiban :
1. Melunasi Iuran Hasil Hutan (IHH).
2. Melaksanakan semua ketentuan yang ditetapkan
oleh Menteri Kehutanan dalam rangka hapusnya
HPH Tanaman, sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1999.
B. Pada saat hapusnya HPH Tanaman karena habis masa
berlakunya dan atau perpanjangannya atau penyerahan
kembali sebelum jangka waktu yang diberikan berakhir,
atau karena dicabut oleh Menteri Kehutanan dan
Perkebunan, maka :
1. Segala prasarana dan sarana tidak bergerak yang
telah dibangun PERUSAHAAN didalam areal
kerjanya, seperti jalan angkutan, jembatan,
bendungan air, dermaga, base camp, gudang,
perkantoran, rumah kaca dan sebagainya pada saat
hapusnya HPH Tanaman menjadi milik negara tanpa
adanya ganti rugi.
2. Tanaman yang ada menjadi milik Negara tanpa
adanya ganti rugi.
3. Barang-barang persediaan yang berada di dalam
gedung dan Barang-barang bergerak yang
dipergunakan PERUSAHAAN sehubungan dengan
kegiatan pengusahaan hutan, tetap menjadi milik
PERUSAHAAN.
C. Jika HPH Tanaman berakhir karena habis masa
berlakunya atau karena diserahkan kembali oleh
PERUSAHAAN atau karena dicabut oleh Menteri
Kehutanan dan Perkebunan, maka :
1. Segala hak yang dimiliki pemegang HPH Tanaman
berakhir.
2. Areal Hutan yang dibebani hak pengusahaan hutan
kembali kepada negara.
3. Pemegang...
3. Pemegang HPH Tanaman diwajibkan menyerahkan
semua klise dan bahan-bahan serta peta, gambargambar
ukuran tanah dan sebagainya yang
bersangkutan dengan pengusahaan hutan kepada
Departemen Kehutanan dan Perkebunan dengan
tidak menerima ganti rugi.
4. Dalam hal PERUSAHAAN akan menyerahkan kembali
HPH Tanaman sebelum hasbis masa berlakunya,
maka PERUSAHAAN sebelumnya harus susah
menyelesaikan dan memenuhi semua kewajibankewajiban
baik teknis maupun finansial
sebagaimana tercantum dalam Keputusan ini.
Salinan Sesuai Aslinya MENTERI KEHUTANAN,
Kepala Biro Hukum dan Organisasi,
ttd. ttd.
SOEPRAYITNO, SH.MM. Dr. Ir. NUR MAHMUDI ISMA’IL, MSc.
Aneka Ragam Hayati Yang Memberikan Kekuatan Kekayaan, Warna dan Harmoni bagi Kehidupan hutan rohil
Sabtu, 28 Januari 2012
PT. INHUTANI IV dengan PT. SUMATERA RIANG LESTARI PT. SUMATERA SYLVA LESTARI
MENTERI KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN
NOMOR : 82/KPTS-II/2001
TENTANG
PEMBERIAN HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN KAYU PERTUKANGAN
KEPADA PT. SUMATERA SYLVA LESTARI ATAS AREAL HUTAN SELUAS ± 42.530
(EMPAT PULUH DUA RIBU LIMA RATUS TIGA PULUH) HEKTAR
DI PROPINSI SUMATERA UTARA DAN PROPINSI RIAU
MENTERI KEHUTANAN,
Membaca : 1. Surat Menteri Kehutanan Nomor 230/Menhut-IV/1995 tanggal 15 Pebruari
1995, tentang Persetujuan Pembangunan Hutan Tanaman Industri PT.
SUMATERA RIANG LESTARI atas areal seluas + 48.308 hektar di Propinsi
Sumatera Utara dan Propinsi Riau;
2. Surat Menteri Kehutanan Nomor 1056/Menhut-II/95 tanggal 20 Juli 1995
tentang persetujuan prinsip pembentukan perusahaan patungan Hak
Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) antara PT. INHUTANI IV
dengan PT. SUMATERA RIANG LESTARI;
3. Surat Menteri Keuangan Nomor S-187/MK.016/1998 tanggal 27 Pebruari 1998
tentang persetujuan pembentukan perusahaan patungan Hak Pengusahaan
Hutan Tanaman Industri (HPHTI) antara PT. INHUTANI IV dengan PT.
SUMATERA RIANG LESTARI;
4. Akta Nomor 7 tanggal 13 Oktober 1998 tentang pendirian Perusahaan PT.
SUMATERA SYLVA LESTARI, yang dibuat dihadapan REINA MURNI BATU BARA,
SH. Notaris di Medan, dan disahkan Menteri Kehakiman dengan Keputusan
Nomor C-16396.HT.01.01.TH.99 tanggal 14 September 1999;
5. Surat Kepala Badan Planologi Kehutanan dan Perkebunan Nomor 983/VIIKP/
2000 tanggal 21 Nopember 2000 tentang Penetapan Peta Areal Kerja Hak
Pengusahaan Hutan Tanaman PT. SUMATERA SYLVA LESTARI atas areal hutan
seluas + 42.530 (empat puluh dua ribu lima ratus tiga puluh) hektar.
Menimbang : a. bahwa hutan merupakan suatu sumber daya alam yang mempunyai potensi
ekonomi, perlu dimanfaatkan secara optimal dan bagi kesejahteraan rakyat
pada umumnya dan masyarakat di sekitar hutan pada khususnya;
b. bahwa untuk meningkatkan produktivitas kawasan hutan yang tidak
produktif, meningkatkan kualitas lingkungan hidup serta menjamin
tersedianya bahan baku industri hasil hutan secara lestari perlu
dilaksanakan pengusahaan hutan tanaman berdasarkan azas kelestarian
dengan menerapkan sistem silvikultur hutan tanaman secara intensif pada
kawasan hutan tersebut;
c. bahwa berdasarkan Pasal 82 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999,
ditetapkan bahwa semua peraturan perundang-undangan di bidang
kehutanan yang ada, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang
ini tetap berlaku sampai diterbitkannya peraturan pelaksanaan yang
berdasarkan peraturan ini;
d. bahwa...
d. bahwa PT. SUMATERA SYLVA LESTARI dinilai telah memenuhi persyaratan
yang ditentukan, sehingga kepadanya dapat diberikan Hak Pengusahaan
Hutan Tanaman (HPHT) atas kawasan Hutan Produksi (HP) tersebut dengan
Keputusan Menteri Kehutanan.
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria;
2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam
Negeri, sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang
Nomor 12 Tahun 1970;
3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya;
4. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang;
5. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1967 tentang Iuran Hak Pengusahaan
Hutan dan Iuran Hasil Hutan;
7. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah;
8. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;
9. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1967 tentang Iuran Hak Pengusahaan
Hutan dan Iuran Hasil Hutan;
10. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan;
11. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan;
12. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1998 tentang Provisi Sumber Daya
Hutan;
13. Peraturan pemerintah Nomor 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan
Pemungutan Hasil Hutan Pada Hutan Produksi;
14. Peraturan pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisa Mengenai
Dampak Lingkungan;
15. Peraturan pemerintah Nomor 92 Tahun 1999 tentang Dana Reboisasi;
16. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonomi;
17. Keputusan Preiden Republik Indonesia No. 29 Tahun 1990 tentang Dana
Reboisasi, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Presiden
Republik Indonesia no. 32 Tahun 1998;
18. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1990 jis. Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1993 dan Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 1998 tentang Pengenaan, pemungutan
dan Pembagian Iuran Hasil hutan;
19. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 165 Tahun 2000 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen;
20. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 234/M Tahun 2000 jo
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 289/M tentang Pembentukan
Kabinet Periode 1999 - 2004;
21. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 195/Kpts-II/1991 tentang Iuran Hak
Pengusahaan Hutan Tanaman Industri, sebagaimana telah diubah dengan
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 345/Kpts-II/1996;
22. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 70/Kpts-II/1995 tentang Pengaturan
Tata Ruang Hutan Tanaman Industri, sebagaimana telah diubah dengan
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 246/Kpts-II/1996;
23. Keputusan...
23. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 602/Kpts-II/1998 jo Keputusan Menteri
Kehutanan dan Perkebunan Nomor 622/Kpts-II/1999 tentang Analisa
Mengenai Dampak Lingkungan, Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya
Pemantauan Lingkungan Pembangunan Kehutanan dan Perkebunan;
24. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 309/Kpts-II/1999
tentang Sistem Silvikultur dan Daur Tanaman Pokok Dalam Pengelolaan
Hutan produksi;
25. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 312/Kpts-I/1999
tentang Tata Cara Pemberian Hak Pengusahaan Hutan Melalui Permohonan;
26. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 314/Kpts-II/1999
tentang Rencana Karya Pengusahaan Hutan, Rencana Karya Lima Tahunan
dan Rencana karya Tahunan atau Bagan Kerja Pengusahaan Hutan dan
Pemungutan Hasil Hutan;
27. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 05.1/Kpts-II/2000 tentang Kriteria dan
Standar Perizinan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dan Perizinan
Pemungutan Hasil Hutan Pada Hutan Produksi Alam.
Memperhatikan : 1. Rekomendasi Gubernur Propinsi Sumatera Utara Nomor 522.11/5575/98
tanggal 20 April 1998;
2. Rekomendasi Gubernur Propinsi Riau Nomor 522/EK/1290 tanggal 28 mei
1998.
M E M U T U S K A N :
Menetapkan :
PERTAMA : Memberikan HPH Tanaman Kayu Pertukangan yang terletak di wilayah Propinsi
Sumatera Utara dan Propinsi Riau dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Areal Hak Pengusahaan Hutan Tanaman (HPHT) Kayu Pertukangan tersebut
adalah seluas ± 42.530 (empat puluh dua ribu lima ratus tiga puluh) hektar
sebagaimana peta terlampir.
2. Luas dan letak definitif areal kerja HPH Tanaman ditetapkan oleh
Departemen Kehutanan dan Pekebunan setelah dilaksanakan pengukuran
dan penataan batas di lapangan.
KEDUA : PT. SUMATERA SYLVA LESTARI sebagai pemegang HPH Tanaman harus memenuhi
kewajiban sebagai berikut:
1. Membayar Iuran dan Kewajiban keuangan lainnya sesuai dengan ketentuan
yang berlaku;
2. Melaksanakan penataan batas areal kerjanya selambat-lambatnya 2 (dua)
tahun sejak ditetapkan Keputusan ini;
3. Membuat Rencana Karya Pengusahaan Hutan Tanaman (RKPHT) selambatlambatnya
18 (delapan belas) bulan sejak dikeluarkannya Keputusan ini;
4. Membuat Rencana Karya Tahunan sesuai dengan pedoman yang ditetapkan;
5. Membangun sarana dan prasarana yang diperlukan untuk melaksanakan
pengusahaan hutan tanaman;
6. Memulai kegiatannya secara nyata dan bersungguh-sungguh selambatlambatnya
6 (enam) bulan setelah dikeluarkannya Keputusan ini;
7. Melaksanakan kegiatan pengusahaan hutan tanaman industri dengan
kemampuan sendiri/patungan, meliputi kegiatan-kegiatan penanaman,
pemeliharaan, pemungutan, pengolahan dan pemasaran sesuai Rencana
Karya Pengusahaan Hutan Tanaman Industri menurut ketentuan-ketentuan
yang berlaku serta berdasarkan azas manfaat azas kelestarian dan azas
perusahaan;
8. Selambat-lambatnya...
8. Selambat-lambatnya dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya
keputusan ini, pemegang HPHTI harus sudah membuat tanaman minimal
sepersepuluh dari luas areal kerja yang diberikan;
9. Selambat-lambatnya dalam waktu 25 (dua puluh lima) tahun sejak
diterbitkannya keputusan ini, seluruh areal Hak Pengusahaan Hutan
Tanaman Industri (HPHTI) yang telah diberikan harus sudah ditanami;
10. Mengusahakan areal HPHTI sesuai dengan Rencana Karya Pengusahaan Hutan
Tanaman Industri dan Rencana Karya Tahunan Hutan Tanaman Industri yang
disahkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
11. Melaksanakan penanaman kembali setelah melakukan penebangan sesuai
ketentuan yang berlaku;
12. Mempekerjakan tenaga teknis kehutanan sesuai ketentuan yang berlaku;
13. Membantu meningkatkan taraf hidup masyarakat yang berada di dalam atau
di sekitar areal kerjanya;
14. Wajib memberikan izin kepada masyarakat hukum adat/masyarakat
tradisional dan anggota-anggotanya untuk berada di dalam areal kerjanya
untuk memungut, mengambil, mengumpulkan dan mengangkut hasil hutan
ikutan seperti rotan, sagu, damar, buah-buahan, getah-getahan, rumputrumputan,
bambu, kulit kayu dan lain sebagainya sepanjang hasil hutan
ikutan tersebut untuk memenuhi atau menunjang kehidupan sehari-hari;
15. Mendukung pengembangan wilayah, pembangunan daerah dan
mengembangkan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat tradisional
disekitar areal kerjanya;
16. Mematuhi dan memberikan bantuan kepada para petugas yang oleh Menteri
Kehutanan diberi wewenang untuk mengadakan bimbingan, pengawasan,
dan penelitian;
17. Harus menyertakan saham bagi Koperasi disekitar areal HPH sebesar 20%
sebagai hak kompensasi masyarakat, yang realisasinya dilaksanakan secara
bertahap, yaitu 10% pada saat Koperasi terbentuk dan sisanya sebesar 10%
diangsur selama 5 tahun, dengan kenaikan minimal 1% setiap tahun.
KETIGA : PT. SUMATERA SYLVA LESTARI sebagai pemegang HPH Tanaman tersebut diatas
terikat oleh ketentuan sebagai berikut :
1. HPH Tanaman ini tidak dapat dipindahtangankan dalam bentuk apapun
kepada pihak lain tanpa persetujuan Menteri Kehutanan;
2. Memenuhi ketentuan yang tercantum dalam lampiran Keputusan ini dan
peraturan perundangan yang berlaku bagi pengusahaan hutan.
KEEMPAT : (1) Apabila di dalam areal HPH Tanaman kayu Pertukangan terdapat lahan yang
telah menjadi tanah milik, perkampungan, tegalan, persawahan atau telah
diduduki dan digarap oleh pihak ketiga, maka lahan tersebut dikeluarkan
dari areal kerja HPH Tanaman Kayu Pertukangan.
(2) Apabila lahan tersebut ayat 1 (satu) dikehendaki untuk dijadikan areal HPH
Tanaman, maka penyelesaiannya dilakukan oleh PT. SUMATERA SYLVA
LESTARI dengan pihak-pihak yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
KELIMA : (1) Setiap 5 (lima) tahun HPH Tanaman dengan penilaian oleh Departemen
Kehutanan dan Perkebunan untuk mengetahui kemampuan pengelolaannya.
(2) Pemegang HPH Tanaman dalam keputusan ini akan dikenakan sanksi apabila
melanggar ketentuan yang tersebut dalam keputusan ini dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
KEENAM...
KEENAM : Keputusan ini beserta Lampiran-lampirannya berlaku terhitung sejak tanggal
ditetapkan untuk jangka waktu 43 (empat puluh tiga) tahun, yaitu 35 (tiga puluh
lima) tahun ditambah 1 (satu) daur tanaman pokok yang diusahakan 8 (delapan)
tahun, kecuali apabila sebelumnya diserahkan kembali oleh pemegang HPH
Tanaman yang bersangkutan atau dicabut oleh Menteri Kehutanan.
Ditetapkan di : J A K A R T A
Pada tanggal : 15 Maret 2001
Salinan Sesuai Aslinya MENTERI KEHUTANAN,
Kepala Biro Hukum dan Organisasi,
ttd. ttd.
SOEPRAYITNO, SH.MM. Dr. Ir. NUR MAHMUDI ISMA’IL, MSc.
NIP. 080020023
Salinan Keputusan ini disampaikan Kepada Yth. :
1. Sdr. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Keuangan dan Pengawasan Pembangunan;
2. Sdr. Menteri Dalam Negeri dan Daerah Otonomi Daerah;
3. Sdr. Menteri Keuangan;
4. Sdr. Menteri Pertanian;
5. Sdr. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
6. Sdr. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral;
7. Sdr. Menteri Perindustrian dan Perdagangan;
8. Sdr. Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah;
9. Sdr. Menteri Negara Lingkungan Hidup;
10. Sdr. Menteri Negara Urusan Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah;
11. Sdr. Pejabat Eselon I lingkup Departemen Kehutanan;
12. Sdr. Gubernur Propinsi Sumatera Utara;
13. Sdr. Gubernur Propinsi Riau;
14. Sdr. Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi Sumatera Utara;
15. Sdr. Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi Riau;
16. Sdr. Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Utara;
17. Sdr. Kepala Dinas Kehutanan Riau;
18. Sdr. Direktur Utama PT. SUMATERA SYLVA LESTARI.
REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN
NOMOR : 82/KPTS-II/2001
TENTANG
PEMBERIAN HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN KAYU PERTUKANGAN
KEPADA PT. SUMATERA SYLVA LESTARI ATAS AREAL HUTAN SELUAS ± 42.530
(EMPAT PULUH DUA RIBU LIMA RATUS TIGA PULUH) HEKTAR
DI PROPINSI SUMATERA UTARA DAN PROPINSI RIAU
MENTERI KEHUTANAN,
Membaca : 1. Surat Menteri Kehutanan Nomor 230/Menhut-IV/1995 tanggal 15 Pebruari
1995, tentang Persetujuan Pembangunan Hutan Tanaman Industri PT.
SUMATERA RIANG LESTARI atas areal seluas + 48.308 hektar di Propinsi
Sumatera Utara dan Propinsi Riau;
2. Surat Menteri Kehutanan Nomor 1056/Menhut-II/95 tanggal 20 Juli 1995
tentang persetujuan prinsip pembentukan perusahaan patungan Hak
Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) antara PT. INHUTANI IV
dengan PT. SUMATERA RIANG LESTARI;
3. Surat Menteri Keuangan Nomor S-187/MK.016/1998 tanggal 27 Pebruari 1998
tentang persetujuan pembentukan perusahaan patungan Hak Pengusahaan
Hutan Tanaman Industri (HPHTI) antara PT. INHUTANI IV dengan PT.
SUMATERA RIANG LESTARI;
4. Akta Nomor 7 tanggal 13 Oktober 1998 tentang pendirian Perusahaan PT.
SUMATERA SYLVA LESTARI, yang dibuat dihadapan REINA MURNI BATU BARA,
SH. Notaris di Medan, dan disahkan Menteri Kehakiman dengan Keputusan
Nomor C-16396.HT.01.01.TH.99 tanggal 14 September 1999;
5. Surat Kepala Badan Planologi Kehutanan dan Perkebunan Nomor 983/VIIKP/
2000 tanggal 21 Nopember 2000 tentang Penetapan Peta Areal Kerja Hak
Pengusahaan Hutan Tanaman PT. SUMATERA SYLVA LESTARI atas areal hutan
seluas + 42.530 (empat puluh dua ribu lima ratus tiga puluh) hektar.
Menimbang : a. bahwa hutan merupakan suatu sumber daya alam yang mempunyai potensi
ekonomi, perlu dimanfaatkan secara optimal dan bagi kesejahteraan rakyat
pada umumnya dan masyarakat di sekitar hutan pada khususnya;
b. bahwa untuk meningkatkan produktivitas kawasan hutan yang tidak
produktif, meningkatkan kualitas lingkungan hidup serta menjamin
tersedianya bahan baku industri hasil hutan secara lestari perlu
dilaksanakan pengusahaan hutan tanaman berdasarkan azas kelestarian
dengan menerapkan sistem silvikultur hutan tanaman secara intensif pada
kawasan hutan tersebut;
c. bahwa berdasarkan Pasal 82 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999,
ditetapkan bahwa semua peraturan perundang-undangan di bidang
kehutanan yang ada, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang
ini tetap berlaku sampai diterbitkannya peraturan pelaksanaan yang
berdasarkan peraturan ini;
d. bahwa...
d. bahwa PT. SUMATERA SYLVA LESTARI dinilai telah memenuhi persyaratan
yang ditentukan, sehingga kepadanya dapat diberikan Hak Pengusahaan
Hutan Tanaman (HPHT) atas kawasan Hutan Produksi (HP) tersebut dengan
Keputusan Menteri Kehutanan.
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria;
2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam
Negeri, sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang
Nomor 12 Tahun 1970;
3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya;
4. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang;
5. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1967 tentang Iuran Hak Pengusahaan
Hutan dan Iuran Hasil Hutan;
7. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah;
8. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;
9. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1967 tentang Iuran Hak Pengusahaan
Hutan dan Iuran Hasil Hutan;
10. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan;
11. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan;
12. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1998 tentang Provisi Sumber Daya
Hutan;
13. Peraturan pemerintah Nomor 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan
Pemungutan Hasil Hutan Pada Hutan Produksi;
14. Peraturan pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisa Mengenai
Dampak Lingkungan;
15. Peraturan pemerintah Nomor 92 Tahun 1999 tentang Dana Reboisasi;
16. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonomi;
17. Keputusan Preiden Republik Indonesia No. 29 Tahun 1990 tentang Dana
Reboisasi, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Presiden
Republik Indonesia no. 32 Tahun 1998;
18. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1990 jis. Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1993 dan Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 1998 tentang Pengenaan, pemungutan
dan Pembagian Iuran Hasil hutan;
19. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 165 Tahun 2000 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen;
20. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 234/M Tahun 2000 jo
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 289/M tentang Pembentukan
Kabinet Periode 1999 - 2004;
21. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 195/Kpts-II/1991 tentang Iuran Hak
Pengusahaan Hutan Tanaman Industri, sebagaimana telah diubah dengan
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 345/Kpts-II/1996;
22. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 70/Kpts-II/1995 tentang Pengaturan
Tata Ruang Hutan Tanaman Industri, sebagaimana telah diubah dengan
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 246/Kpts-II/1996;
23. Keputusan...
23. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 602/Kpts-II/1998 jo Keputusan Menteri
Kehutanan dan Perkebunan Nomor 622/Kpts-II/1999 tentang Analisa
Mengenai Dampak Lingkungan, Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya
Pemantauan Lingkungan Pembangunan Kehutanan dan Perkebunan;
24. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 309/Kpts-II/1999
tentang Sistem Silvikultur dan Daur Tanaman Pokok Dalam Pengelolaan
Hutan produksi;
25. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 312/Kpts-I/1999
tentang Tata Cara Pemberian Hak Pengusahaan Hutan Melalui Permohonan;
26. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 314/Kpts-II/1999
tentang Rencana Karya Pengusahaan Hutan, Rencana Karya Lima Tahunan
dan Rencana karya Tahunan atau Bagan Kerja Pengusahaan Hutan dan
Pemungutan Hasil Hutan;
27. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 05.1/Kpts-II/2000 tentang Kriteria dan
Standar Perizinan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dan Perizinan
Pemungutan Hasil Hutan Pada Hutan Produksi Alam.
Memperhatikan : 1. Rekomendasi Gubernur Propinsi Sumatera Utara Nomor 522.11/5575/98
tanggal 20 April 1998;
2. Rekomendasi Gubernur Propinsi Riau Nomor 522/EK/1290 tanggal 28 mei
1998.
M E M U T U S K A N :
Menetapkan :
PERTAMA : Memberikan HPH Tanaman Kayu Pertukangan yang terletak di wilayah Propinsi
Sumatera Utara dan Propinsi Riau dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Areal Hak Pengusahaan Hutan Tanaman (HPHT) Kayu Pertukangan tersebut
adalah seluas ± 42.530 (empat puluh dua ribu lima ratus tiga puluh) hektar
sebagaimana peta terlampir.
2. Luas dan letak definitif areal kerja HPH Tanaman ditetapkan oleh
Departemen Kehutanan dan Pekebunan setelah dilaksanakan pengukuran
dan penataan batas di lapangan.
KEDUA : PT. SUMATERA SYLVA LESTARI sebagai pemegang HPH Tanaman harus memenuhi
kewajiban sebagai berikut:
1. Membayar Iuran dan Kewajiban keuangan lainnya sesuai dengan ketentuan
yang berlaku;
2. Melaksanakan penataan batas areal kerjanya selambat-lambatnya 2 (dua)
tahun sejak ditetapkan Keputusan ini;
3. Membuat Rencana Karya Pengusahaan Hutan Tanaman (RKPHT) selambatlambatnya
18 (delapan belas) bulan sejak dikeluarkannya Keputusan ini;
4. Membuat Rencana Karya Tahunan sesuai dengan pedoman yang ditetapkan;
5. Membangun sarana dan prasarana yang diperlukan untuk melaksanakan
pengusahaan hutan tanaman;
6. Memulai kegiatannya secara nyata dan bersungguh-sungguh selambatlambatnya
6 (enam) bulan setelah dikeluarkannya Keputusan ini;
7. Melaksanakan kegiatan pengusahaan hutan tanaman industri dengan
kemampuan sendiri/patungan, meliputi kegiatan-kegiatan penanaman,
pemeliharaan, pemungutan, pengolahan dan pemasaran sesuai Rencana
Karya Pengusahaan Hutan Tanaman Industri menurut ketentuan-ketentuan
yang berlaku serta berdasarkan azas manfaat azas kelestarian dan azas
perusahaan;
8. Selambat-lambatnya...
8. Selambat-lambatnya dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya
keputusan ini, pemegang HPHTI harus sudah membuat tanaman minimal
sepersepuluh dari luas areal kerja yang diberikan;
9. Selambat-lambatnya dalam waktu 25 (dua puluh lima) tahun sejak
diterbitkannya keputusan ini, seluruh areal Hak Pengusahaan Hutan
Tanaman Industri (HPHTI) yang telah diberikan harus sudah ditanami;
10. Mengusahakan areal HPHTI sesuai dengan Rencana Karya Pengusahaan Hutan
Tanaman Industri dan Rencana Karya Tahunan Hutan Tanaman Industri yang
disahkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
11. Melaksanakan penanaman kembali setelah melakukan penebangan sesuai
ketentuan yang berlaku;
12. Mempekerjakan tenaga teknis kehutanan sesuai ketentuan yang berlaku;
13. Membantu meningkatkan taraf hidup masyarakat yang berada di dalam atau
di sekitar areal kerjanya;
14. Wajib memberikan izin kepada masyarakat hukum adat/masyarakat
tradisional dan anggota-anggotanya untuk berada di dalam areal kerjanya
untuk memungut, mengambil, mengumpulkan dan mengangkut hasil hutan
ikutan seperti rotan, sagu, damar, buah-buahan, getah-getahan, rumputrumputan,
bambu, kulit kayu dan lain sebagainya sepanjang hasil hutan
ikutan tersebut untuk memenuhi atau menunjang kehidupan sehari-hari;
15. Mendukung pengembangan wilayah, pembangunan daerah dan
mengembangkan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat tradisional
disekitar areal kerjanya;
16. Mematuhi dan memberikan bantuan kepada para petugas yang oleh Menteri
Kehutanan diberi wewenang untuk mengadakan bimbingan, pengawasan,
dan penelitian;
17. Harus menyertakan saham bagi Koperasi disekitar areal HPH sebesar 20%
sebagai hak kompensasi masyarakat, yang realisasinya dilaksanakan secara
bertahap, yaitu 10% pada saat Koperasi terbentuk dan sisanya sebesar 10%
diangsur selama 5 tahun, dengan kenaikan minimal 1% setiap tahun.
KETIGA : PT. SUMATERA SYLVA LESTARI sebagai pemegang HPH Tanaman tersebut diatas
terikat oleh ketentuan sebagai berikut :
1. HPH Tanaman ini tidak dapat dipindahtangankan dalam bentuk apapun
kepada pihak lain tanpa persetujuan Menteri Kehutanan;
2. Memenuhi ketentuan yang tercantum dalam lampiran Keputusan ini dan
peraturan perundangan yang berlaku bagi pengusahaan hutan.
KEEMPAT : (1) Apabila di dalam areal HPH Tanaman kayu Pertukangan terdapat lahan yang
telah menjadi tanah milik, perkampungan, tegalan, persawahan atau telah
diduduki dan digarap oleh pihak ketiga, maka lahan tersebut dikeluarkan
dari areal kerja HPH Tanaman Kayu Pertukangan.
(2) Apabila lahan tersebut ayat 1 (satu) dikehendaki untuk dijadikan areal HPH
Tanaman, maka penyelesaiannya dilakukan oleh PT. SUMATERA SYLVA
LESTARI dengan pihak-pihak yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
KELIMA : (1) Setiap 5 (lima) tahun HPH Tanaman dengan penilaian oleh Departemen
Kehutanan dan Perkebunan untuk mengetahui kemampuan pengelolaannya.
(2) Pemegang HPH Tanaman dalam keputusan ini akan dikenakan sanksi apabila
melanggar ketentuan yang tersebut dalam keputusan ini dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
KEENAM...
KEENAM : Keputusan ini beserta Lampiran-lampirannya berlaku terhitung sejak tanggal
ditetapkan untuk jangka waktu 43 (empat puluh tiga) tahun, yaitu 35 (tiga puluh
lima) tahun ditambah 1 (satu) daur tanaman pokok yang diusahakan 8 (delapan)
tahun, kecuali apabila sebelumnya diserahkan kembali oleh pemegang HPH
Tanaman yang bersangkutan atau dicabut oleh Menteri Kehutanan.
Ditetapkan di : J A K A R T A
Pada tanggal : 15 Maret 2001
Salinan Sesuai Aslinya MENTERI KEHUTANAN,
Kepala Biro Hukum dan Organisasi,
ttd. ttd.
SOEPRAYITNO, SH.MM. Dr. Ir. NUR MAHMUDI ISMA’IL, MSc.
NIP. 080020023
Salinan Keputusan ini disampaikan Kepada Yth. :
1. Sdr. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Keuangan dan Pengawasan Pembangunan;
2. Sdr. Menteri Dalam Negeri dan Daerah Otonomi Daerah;
3. Sdr. Menteri Keuangan;
4. Sdr. Menteri Pertanian;
5. Sdr. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
6. Sdr. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral;
7. Sdr. Menteri Perindustrian dan Perdagangan;
8. Sdr. Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah;
9. Sdr. Menteri Negara Lingkungan Hidup;
10. Sdr. Menteri Negara Urusan Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah;
11. Sdr. Pejabat Eselon I lingkup Departemen Kehutanan;
12. Sdr. Gubernur Propinsi Sumatera Utara;
13. Sdr. Gubernur Propinsi Riau;
14. Sdr. Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi Sumatera Utara;
15. Sdr. Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi Riau;
16. Sdr. Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Utara;
17. Sdr. Kepala Dinas Kehutanan Riau;
18. Sdr. Direktur Utama PT. SUMATERA SYLVA LESTARI.
PT.Diamont Raya Timber
kayu Log yang dibawa
kondisi hutan yg sudah pora poranda
KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN
Nomor : SK.15/VI-BPHA/2008
TENTANG
PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN RENCANA KERJA USAHA PEMANFAATAN
HASIL HUTAN KAYU DALAM HUTAN ALAM PADA HUTAN PRODUKSI PERIODE
TAHUN 2007 – 2016 ATAS NAMA PT. DIAMOND RAYA TIMBER
PROVINSI RIAU
MENTERI KEHUTANAN
Membaca : Surat Direktur Utama PT. Diamond Raya Timber No. 276/DRT/PKUV/
2007 tanggal 7 Mei 2007 perihal Permohonan Persetujuan dan
Pengesahan RKUPHHK dan No. 282/DRT/PKU-VI/2007 tanggal 25 Juni
2007 perihal Kelengkapan Persyaratan Penilaian URKUPHHK dalam
Hutan Alam PT. Diamond Raya Timber.
Menimbang : a. bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 443/Kpts-
II/1998 tanggal 8 Mei 1998 kepada PT. Diamond Raya Timber
diberikan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK)
pada Hutan Alam yang sebelumnya disebut Hak Pengusahaan
Hutan (HPH) seluas ± 90.956 ha di Provinsi Riau dengan jangka
waktu 20 (dua puluh) tahun sejak tanggal 27 Juni 1999;
b. bahwa Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
(RKUPHHK) Dalam Hutan Alam a.n. PT. Diamond Raya Timber
telah disetujui dan disahkan Direktur Jenderal Bina Produksi
Kehutanan atas nama Menteri Kehutanan melalui surat keputusan
No. 219/Kpts-IV/1999 tanggal 19 April 1999;
c. bahwa sesuai Pasal 30, ayat (3) Peraturan Menteri Kehutanan No.
P.6/Menhut-II/2007 tanggal 12 Pebruari 2007 jo. No.
P.40/Menhut-II/2007 tanggal 17 September 2007 tentang
Perubahan atas Permenhut No. P.6/Menhut-II/2007 tentang
Rencana Kerja, Rencana Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu Dalam Hutan Alam dan Restorasi Ekosistem Dalam
Hutan Alam Pada Hutan Produksi, disebutkan bahwa terhadap
RKUPHHK yang telah mendapat pengesahan sebelum berlakunya
Peraturan Menteri tersebut wajib disesuaikan;
d. bahwa berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Peraturan Menteri Kehutanan
No. P.40/Menhut-II/2007 tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Kehutanan No. P.6/Menhut-II/2007 tentang Rencana
Kerja, Rencana Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
Kayu Dalam Hutan Alam dan Restorasi Ekosistem Dalam Hutan
Alam Pada Hutan Produksi, bahwa RKUPHHK-HA dinilai dan
disahkan Direktur Jenderal atas nama Menteri Kehutanan;
e. bahwa ......
e. bahwa berdasarkan Pasal 6 ayat (2) Peraturan Menteri Kehutanan
No. P.6/Menhut-II/2007 jo. P.40/Menhut-II/2007, Direktur
Jenderal dapat mendelegasikan kewenangan penilaian dan
pengesahan Usulan RKUPHHK Dalam Hutan Alam dan Restorasi
Ekosistem dalam Hutan Alam Pada Hutan Produksi kepada pejabat
eselon II lingkup Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan
sesuai dengan tugas pokok dan fungsi;
f. bahwa berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi
Khutanan Nomor: SK.244/VI-Set/2007 tanggal 30 Agustus 2007
tentang Pendelegasian Wewenang Penilaian dan Pengesahan
Usulan RKUPHHK Dalam Hutan Alam dan Restorasi Ekosistem
Dalam Hutan Alam Pada Hutan Produksi, telah dilimpahkan
wewenang penilaian dan pengesahan Usulan RKUPHHK dimaksud
kepada Direktur Bina Pengembangan Hutan Alam;
g. bahwa sehubungan dengan hal tersebut, maka dipandang perlu
untuk menyetujui dan mengesahkan Usulan RKUPHHK Dalam
Hutan Alam Pada Hutan Produksi a.n. PT. Diamond Raya Timber
yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kehutanan.
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990;
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992;
3. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Jo. Nomor 19 Tahun 2004;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2002;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004;
7. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007;
8. Keputusan Presiden RI Nomor 187/M Tahun 2004, Jo. Nomor
171/M Tahun 2005;
9. Peraturan Presiden RI Nomor 9 Tahun 2005, Jo. Nomor 62 Tahun
2005;
10. Peraturan Presiden RI Nomor 10 Tahun 2005, Jis Nomor 15 Tahun
2005, dan Nomor 63 Tahun 2005;
11. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 443/Kpts-II/1998 tanggal 8
Mei 1998;
12. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 10172/Kpts-II/2002;
13. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.13/Menhut-II/2005,
tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kehutanan,
sebagaimana telah beberapa kali disempurnakan terakhir dengan
Nomor P.17/Menhut-II/2007;
14. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.30/Menhut-II/2005;
15. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.27/Menhut-II/2006;
16. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.34/Menhut-II/2007;
17. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.6/Menhut-II/2007 jo.
Nomor P.40/Menhut-II/2007;
18. Peraturan .......
18. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.01/Menhut-II/2008;
19. Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor
SK.224/VI-Set/2007 tanggal 30 Agustus 2007.
Memperhatikan : Hasil Penilaian atas Usulan RKUPHHK Dalam Hutan Alam Pada Hutan
Produksi a.n. PT. Diamond Raya Timber sesuai surat arahan perbaikan
Direktur Bina Pengembangan Hutan Alam No. S.1025/VI/ BPHA-2/2007
tanggal 2 Oktober 2007.
M E M U T U S K A N
Menetapkan :
PERTAMA : Menyetujui dan mengesahkan RKUPHHK Dalam Hutan Alam Pada Hutan
Produksi periode tahun 2007 – 2016 a.n. PT. Diamond Raya Timber di
Provinsi Riau;
KEDUA : Rencana penebangan RKUPHHK Dalam Hutan Alam Pada Hutan Produksi
Periode Tahun 2007 – 2016 a.n. PT. Diamond Raya Timber maksimum
seluas 19.300 ha (rata-rata 1.930 ha/tahun) dengan volume maksimum
sebesar 778.300 m3 (rata-rata 77.830 m3/tahun) yang lokasinya
sebagaimana tergambar dalam Peta Lampiran Keputusan ini;
KETIGA : Uraian rencana kegiatan secara rinci tercantum dalam buku RKUPHHK
Dalam Hutan Alam Pada Hutan Produksi PT. Diamond Raya Timber
sebagaimana Buku Lampiran Keputusan ini;
KEEMPAT : PT. Diamond Raya Timber dalam pelaksanaan kegiatan operasionalnya
agar membangun kemitraan dengan para pihak kompeten;
KELIMA : RKUPHHK tersebut pada amar PERTAMA berfungsi sebagai dasar untuk
menyusun Rencana Kerja Tahunan (RKT) Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu Dalam Hutan Alam Pada Hutan Produksi PT. Diamond Raya
Timber;
KEENAM : Selambat-lambatnya 24 Agustus 2009, PT. Diamond Raya Timber harus
menyelesaikan kewajiban melaksanakan Inventarisasi Hutan Menyeluruh
Berkala (IHMB) yang hasilnya akan dipergunakan untuk penyempurnaan
RKUPHHK ini;
KETUJUH : Setiap pelanggaran dan atau penyimpangan terhadap ketentuan dalam
Keputusan ini, akan dikenakan sanksi sesuai peraturan perundangundangan
yang berlaku;
KEDELAPAN : Dengan ditetapkannya keputusan ini, maka Keputusan Menteri
Kehutanan No. 219/Kpts-IV/1999 tanggal 19 April 1999 tentang
Pengesahan RKUPHHK-HA PT. Diamond Raya Timber tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan Keputusan ini;
KESEMBILAN ......
KESEMBILAN : Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan sampai dengan tanggal 31
Desember 2016, dengan ketentuan apabila di kemudian hari terdapat
kekeliruan dalam penetapan ini, maka segala sesuatunya dapat diubah
dan diperbaiki sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : J a k a r t a
Pada tanggal : 6 Februari 2008
A.n. MENTERI KEHUTANAN
Salinan sesuai dengan aslinya DIREKTUR JENDERAL BINA Kepala
Kepala Bagian Hukum dan Humas PRODUKSI KEHUTANAN
Ub. DIREKTUR BINA PENGEMBANGAN
HUTAN ALAM,
Ttd. Ttd.
Hari Budianto, SH, MH. Ir. Listya Kusumawardhani, MSc.
NIP. 080057821 NIP. 710001007
Salinan Keputusan ini disampaikan kepada yth. :
1. Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan di Jakarta;
2. Direktur Jenderal lingkup Departemen Kehutanan di Jakarta;
3. Kepala Badan lingkup Departemen Kehutanan di Jakarta;
4. Gubernur Riau di Pekanbaru;
5. Direktur terkait lingkup Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan di Jakarta;
6. Kepala Pusat Pengendalian Pembangunan Kehutanan Regional IV di Jakarta;
7. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau di Pekanbaru;
8. Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Rokan Hilir di Rokan Hilir;
9. Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota Dumai di Kota Dumai;
10. Kepala Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi Wil. III Pekanbarau di
Pekanbaru;
kondisi hutan yg sudah pora poranda
KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN
Nomor : SK.15/VI-BPHA/2008
TENTANG
PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN RENCANA KERJA USAHA PEMANFAATAN
HASIL HUTAN KAYU DALAM HUTAN ALAM PADA HUTAN PRODUKSI PERIODE
TAHUN 2007 – 2016 ATAS NAMA PT. DIAMOND RAYA TIMBER
PROVINSI RIAU
MENTERI KEHUTANAN
Membaca : Surat Direktur Utama PT. Diamond Raya Timber No. 276/DRT/PKUV/
2007 tanggal 7 Mei 2007 perihal Permohonan Persetujuan dan
Pengesahan RKUPHHK dan No. 282/DRT/PKU-VI/2007 tanggal 25 Juni
2007 perihal Kelengkapan Persyaratan Penilaian URKUPHHK dalam
Hutan Alam PT. Diamond Raya Timber.
Menimbang : a. bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 443/Kpts-
II/1998 tanggal 8 Mei 1998 kepada PT. Diamond Raya Timber
diberikan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK)
pada Hutan Alam yang sebelumnya disebut Hak Pengusahaan
Hutan (HPH) seluas ± 90.956 ha di Provinsi Riau dengan jangka
waktu 20 (dua puluh) tahun sejak tanggal 27 Juni 1999;
b. bahwa Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
(RKUPHHK) Dalam Hutan Alam a.n. PT. Diamond Raya Timber
telah disetujui dan disahkan Direktur Jenderal Bina Produksi
Kehutanan atas nama Menteri Kehutanan melalui surat keputusan
No. 219/Kpts-IV/1999 tanggal 19 April 1999;
c. bahwa sesuai Pasal 30, ayat (3) Peraturan Menteri Kehutanan No.
P.6/Menhut-II/2007 tanggal 12 Pebruari 2007 jo. No.
P.40/Menhut-II/2007 tanggal 17 September 2007 tentang
Perubahan atas Permenhut No. P.6/Menhut-II/2007 tentang
Rencana Kerja, Rencana Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu Dalam Hutan Alam dan Restorasi Ekosistem Dalam
Hutan Alam Pada Hutan Produksi, disebutkan bahwa terhadap
RKUPHHK yang telah mendapat pengesahan sebelum berlakunya
Peraturan Menteri tersebut wajib disesuaikan;
d. bahwa berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Peraturan Menteri Kehutanan
No. P.40/Menhut-II/2007 tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Kehutanan No. P.6/Menhut-II/2007 tentang Rencana
Kerja, Rencana Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
Kayu Dalam Hutan Alam dan Restorasi Ekosistem Dalam Hutan
Alam Pada Hutan Produksi, bahwa RKUPHHK-HA dinilai dan
disahkan Direktur Jenderal atas nama Menteri Kehutanan;
e. bahwa ......
e. bahwa berdasarkan Pasal 6 ayat (2) Peraturan Menteri Kehutanan
No. P.6/Menhut-II/2007 jo. P.40/Menhut-II/2007, Direktur
Jenderal dapat mendelegasikan kewenangan penilaian dan
pengesahan Usulan RKUPHHK Dalam Hutan Alam dan Restorasi
Ekosistem dalam Hutan Alam Pada Hutan Produksi kepada pejabat
eselon II lingkup Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan
sesuai dengan tugas pokok dan fungsi;
f. bahwa berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi
Khutanan Nomor: SK.244/VI-Set/2007 tanggal 30 Agustus 2007
tentang Pendelegasian Wewenang Penilaian dan Pengesahan
Usulan RKUPHHK Dalam Hutan Alam dan Restorasi Ekosistem
Dalam Hutan Alam Pada Hutan Produksi, telah dilimpahkan
wewenang penilaian dan pengesahan Usulan RKUPHHK dimaksud
kepada Direktur Bina Pengembangan Hutan Alam;
g. bahwa sehubungan dengan hal tersebut, maka dipandang perlu
untuk menyetujui dan mengesahkan Usulan RKUPHHK Dalam
Hutan Alam Pada Hutan Produksi a.n. PT. Diamond Raya Timber
yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kehutanan.
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990;
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992;
3. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Jo. Nomor 19 Tahun 2004;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2002;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004;
7. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007;
8. Keputusan Presiden RI Nomor 187/M Tahun 2004, Jo. Nomor
171/M Tahun 2005;
9. Peraturan Presiden RI Nomor 9 Tahun 2005, Jo. Nomor 62 Tahun
2005;
10. Peraturan Presiden RI Nomor 10 Tahun 2005, Jis Nomor 15 Tahun
2005, dan Nomor 63 Tahun 2005;
11. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 443/Kpts-II/1998 tanggal 8
Mei 1998;
12. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 10172/Kpts-II/2002;
13. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.13/Menhut-II/2005,
tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kehutanan,
sebagaimana telah beberapa kali disempurnakan terakhir dengan
Nomor P.17/Menhut-II/2007;
14. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.30/Menhut-II/2005;
15. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.27/Menhut-II/2006;
16. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.34/Menhut-II/2007;
17. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.6/Menhut-II/2007 jo.
Nomor P.40/Menhut-II/2007;
18. Peraturan .......
18. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.01/Menhut-II/2008;
19. Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor
SK.224/VI-Set/2007 tanggal 30 Agustus 2007.
Memperhatikan : Hasil Penilaian atas Usulan RKUPHHK Dalam Hutan Alam Pada Hutan
Produksi a.n. PT. Diamond Raya Timber sesuai surat arahan perbaikan
Direktur Bina Pengembangan Hutan Alam No. S.1025/VI/ BPHA-2/2007
tanggal 2 Oktober 2007.
M E M U T U S K A N
Menetapkan :
PERTAMA : Menyetujui dan mengesahkan RKUPHHK Dalam Hutan Alam Pada Hutan
Produksi periode tahun 2007 – 2016 a.n. PT. Diamond Raya Timber di
Provinsi Riau;
KEDUA : Rencana penebangan RKUPHHK Dalam Hutan Alam Pada Hutan Produksi
Periode Tahun 2007 – 2016 a.n. PT. Diamond Raya Timber maksimum
seluas 19.300 ha (rata-rata 1.930 ha/tahun) dengan volume maksimum
sebesar 778.300 m3 (rata-rata 77.830 m3/tahun) yang lokasinya
sebagaimana tergambar dalam Peta Lampiran Keputusan ini;
KETIGA : Uraian rencana kegiatan secara rinci tercantum dalam buku RKUPHHK
Dalam Hutan Alam Pada Hutan Produksi PT. Diamond Raya Timber
sebagaimana Buku Lampiran Keputusan ini;
KEEMPAT : PT. Diamond Raya Timber dalam pelaksanaan kegiatan operasionalnya
agar membangun kemitraan dengan para pihak kompeten;
KELIMA : RKUPHHK tersebut pada amar PERTAMA berfungsi sebagai dasar untuk
menyusun Rencana Kerja Tahunan (RKT) Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu Dalam Hutan Alam Pada Hutan Produksi PT. Diamond Raya
Timber;
KEENAM : Selambat-lambatnya 24 Agustus 2009, PT. Diamond Raya Timber harus
menyelesaikan kewajiban melaksanakan Inventarisasi Hutan Menyeluruh
Berkala (IHMB) yang hasilnya akan dipergunakan untuk penyempurnaan
RKUPHHK ini;
KETUJUH : Setiap pelanggaran dan atau penyimpangan terhadap ketentuan dalam
Keputusan ini, akan dikenakan sanksi sesuai peraturan perundangundangan
yang berlaku;
KEDELAPAN : Dengan ditetapkannya keputusan ini, maka Keputusan Menteri
Kehutanan No. 219/Kpts-IV/1999 tanggal 19 April 1999 tentang
Pengesahan RKUPHHK-HA PT. Diamond Raya Timber tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan Keputusan ini;
KESEMBILAN ......
KESEMBILAN : Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan sampai dengan tanggal 31
Desember 2016, dengan ketentuan apabila di kemudian hari terdapat
kekeliruan dalam penetapan ini, maka segala sesuatunya dapat diubah
dan diperbaiki sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : J a k a r t a
Pada tanggal : 6 Februari 2008
A.n. MENTERI KEHUTANAN
Salinan sesuai dengan aslinya DIREKTUR JENDERAL BINA Kepala
Kepala Bagian Hukum dan Humas PRODUKSI KEHUTANAN
Ub. DIREKTUR BINA PENGEMBANGAN
HUTAN ALAM,
Ttd. Ttd.
Hari Budianto, SH, MH. Ir. Listya Kusumawardhani, MSc.
NIP. 080057821 NIP. 710001007
Salinan Keputusan ini disampaikan kepada yth. :
1. Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan di Jakarta;
2. Direktur Jenderal lingkup Departemen Kehutanan di Jakarta;
3. Kepala Badan lingkup Departemen Kehutanan di Jakarta;
4. Gubernur Riau di Pekanbaru;
5. Direktur terkait lingkup Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan di Jakarta;
6. Kepala Pusat Pengendalian Pembangunan Kehutanan Regional IV di Jakarta;
7. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau di Pekanbaru;
8. Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Rokan Hilir di Rokan Hilir;
9. Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota Dumai di Kota Dumai;
10. Kepala Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi Wil. III Pekanbarau di
Pekanbaru;
kecamatan rimbo melintang (Sungai Rokan)
kondisi hutan dikabupaten rokan hilir kini sangat memprihatinkan, yang mana hutan hutan rohil sudah luluh lantah, oknum - oknum perusahaan yang secara sengaja membabat habis hutan tanpa ada perizinan.
Jumat, 20 Januari 2012
SURAT KETERANGAN ASAL USUL (KAYU)
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN
Nomor : P.33/Menhut-II/2007
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN
NOMOR P.51/MENHUT-II/2006 TENTANG PENGGUNAAN SURAT
KETERANGAN ASAL USUL (SKAU) UNTUK PENGANGKUTAN
HASIL HUTAN KAYU YANG BERASAL DARI HUTAN HAK
MENTERI KEHUTANAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendorong bergeraknya sektor Kehutanan
dengan dukungan ekonomi rakyat, perlu pengakuan,
perlindungan dan tertib peredaran hasil hutan dari hutan
milik/rakyat dengan Peraturan Menteri;
b. bahwa Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.51/Menhut-II/2006
jo. Nomor P.62/Menhut-II/2006 tentang Penggunaan Surat
Keterangan Asal Usul (SKAU) Untuk Pengangkutan Hasil Hutan
Kayu Yang Berasal Dari Hutan Hak, telah berlaku efektif sejak
tanggal 1 Januari 2007 dan perlu disempurnakan;
c. bahwa sehubungan dengan butir b tersebut di atas, perlu
menetapkan Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.51/Menhut-II/2006 tentang Penggunaan Surat
Keterangan Asal Usul (SKAU) Untuk Pengangkutan Hasil Hutan
Kayu yang berasal dari Hutan Hak dengan Peraturan Menteri.
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo.
Nomor 19 Tahun 2004;
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
Bagi Provinsi Papua;
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah;
4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang
Perencanaan Kehutanan;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang
Perlindungan Hutan;
7. Peraturan ...
- 2 -
7. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan
dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan
Hutan;
8. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota;
9. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun
2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu jo. Nomor
171/M Tahun 2005;
10. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2005
tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi Susunan Organisasi dan Tata
Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia, sebagaimana telah
beberapa kali disempurnakan, terakhir dengan Nomor 66 Tahun
2006;
11. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2005
tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara
Republik Indonesia, sebagaimana telah beberapa kali
disempurnakan, terakhir dengan Nomor 91 Tahun 2006;
12. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.13/Menhut-II/2005
tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kehutanan,
sebagaimana telah beberapa kali disempurnakan, terakhir dengan
Nomor P.17/Menhut-II/2007;
13. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.26/Menhut-II/2005
tentang Pedoman Pemanfaatan Hutan Hak;
14. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.51/Menhut-II/2006 jo.
Nomor P.62/Menhut-II/2006 tentang Penggunaan Surat
Keterangan Asal Usul (SKAU) Untuk Pengangkutan Hasil Hutan
Kayu Yang Berasal Dari Hutan Hak;
15. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2006 jo.
Nomor P.63/Menhut-II/2006 tentang Penatausahaan Hasil Hutan
Yang Berasal Dari Hutan Negara.
M E M U T U S K A N :
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG PERUBAHAN KEDUA
ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.51/MENHUTII/
2006 TENTANG PENGGUNAAN SURAT KETERANGAN ASAL USUL
(SKAU) UNTUK PENGANGKUTAN HASIL HUTAN KAYU YANG BERASAL
DARI HUTAN HAK.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.51/Menhut-II/2006
tentang Penggunaan Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) Untuk Pengangkutan Hasil
Hutan Kayu Yang Berasal Dari Hutan Hak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor P.62/Menhut-II/2006, diubah menjadi sebagai berikut :
1. Ketentuan ...
- 3 -
1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga menjadi berbunyi sebagai berikut :
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :
a. Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang telah dibebani hak atas
tanah yang berada di luar kawasan hutan dan dibuktikan dengan alas titel atau
hak atas tanah.
b. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh
Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
c. Lahan masyarakat adalah lahan perorangan atau masyarakat di luar kawasan
hutan yang dimiliki/digunakan oleh masyarakat berupa pekarangan, lahan
pertanian dan kebun.
d. Hasil hutan kayu yang berasal dari hutan hak atau lahan masyarakat, yang
selanjutnya disebut kayu rakyat adalah kayu bulat atau kayu olahan yang
berasal dari pohon yang tumbuh dari hasil budidaya dan atau tumbuh secara
alami di atas hutan hak dan atau lahan masyarakat.
e. Kayu bulat rakyat adalah kayu dalam bentuk gelondong yang berasal dari pohon
yang tumbuh di atas hutan hak dan atau lahan masyarakat.
f. Kayu olahan rakyat adalah kayu dalam bentuk olahan yang berasal dari pohon
yang tumbuh di atas hutan hak dan atau lahan masyarakat, antara lain berupa
kayu gergajian, kayu pacakan, dan arang.
g. Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) adalah surat keterangan yang menyatakan
sahnya pengangkutan, penguasaan atau kepemilikan hasil hutan kayu yang
berasal dari hutan hak atau lahan masyarakat.
h. Dinas Provinsi adalah Dinas yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang
kehutanan di wilayah Provinsi.
i. Dinas Kabupaten/Kota adalah Dinas yang diserahi tugas dan tanggung jawab di
bidang kehutanan di wilayah Kabupaten/Kota.
2. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga menjadi berbunyi sebagai berikut :
Pasal 2
Hutan hak dan lahan masyarakat dibuktikan dengan :
a. Sertifikat Hak Milik, atau Leter C, atau Girik, atau surat keterangan lain yang
diakui oleh Badan Pertanahan Nasional sebagai dasar kepemilikan lahan; atau
b. Sertifikat Hak Pakai; atau
c. Surat atau dokumen lainnya yang diakui sebagai bukti penguasaan tanah atau
bukti kepemilikan lainnya.
3. Ketentuan ...
- 4 -
3. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi menjadi sebagai berikut :
Pasal 4
(1) Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) digunakan untuk pengangkutan kayu bulat
rakyat dan kayu olahan rakyat yang diangkut langsung dari hutan hak atau
lahan masyarakat.
(2) Jenis-jenis kayu bulat rakyat atau kayu olahan rakyat yang pengangkutannya
menggunakan dokumen SKAU adalah sebagaimana yang tercantum dalam
lampiran Peraturan ini.
(3) Pengangkutan lanjutan kayu bulat rakyat/kayu olahan rakyat menggunakan
Nota yang diterbitkan oleh pemilik kayu dengan mencantumkan nomor SKAU
asal.
4. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi menjadi sebagai berikut:
Pasal 5
(1) SKAU diterbitkan oleh Kepala Desa/Lurah atau pejabat setara/pejabat lain di
desa tersebut dimana hasil hutan kayu tersebut akan diangkut.
(2) Pejabat penerbit SKAU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
Bupati/Walikota berdasarkan usulan Kepala Dinas Kabupaten/Kota.
(3) Dalam hal Kepala Desa/Lurah atau pejabat setara/pejabat lain di desa tersebut
berhalangan, Kepala Dinas Kabupaten/Kota menetapkan Pejabat penerbit
SKAU.
5. Ketentuan Pasal 9 ayat (4) diubah sehingga berbunyi menjadi sebagai
berikut:
Pasal 9
(4) Mekanisme pendistribusian blanko SKAU dan pelaporan diatur lebih lanjut oleh
masing-masing Kepala Dinas Provinsi dengan mengacu pada Peraturan ini.
6. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi menjadi sebagai berikut:
Pasal 10
Kayu olahan produk industri primer hasil hutan kayu yang bahan bakunya berasal
dari hutan hak dan atau lahan rakyat, pengangkutannya dari industri tersebut
menggunakan Faktur Angkutan Kayu Olahan (FAKO) atas nama industri yang
bersangkutan sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Menteri.
7. Diantara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan tiga Pasal baru, yaitu Pasal
10a, 10b, dan 10c, yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal 10.a
(1) Jenis-jenis kayu Cempedak, Dadap, Duku, Jambu, Jengkol, Kelapa, Kecapi,
Kenari, Mangga, Manggis, Melinjo, Nangka, Rambutan, Randu, Sawit, Sawo,
Sukun, Trembesi, Waru tidak menggunakan dokumen SKAU maupun SKSKB
cap “KR”, tetapi cukup menggunakan Nota yang diterbitkan penjual.
(2) Nota ...
- 5 -
(2) Nota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa kwitansi Penjualan
bermeterai cukup yang umum berlaku di masyarakat.
Pasal 10.b
Hasil hutan kayu dari pohon yang tumbuh secara alami dalam kawasan hutan yang
berubah status menjadi bukan kawasan hutan (APL dan atau KBNK), tetap
dikenakan PSDH/DR.
Pasal 10.c
Kayu rakyat yang tumbuh secara alami pada lahan hak atau lahan masyarakat
tidak dikenakan PSDH/DR.
8. Ketentuan Pasal 11 ayat (2) diubah sehingga berbunyi menjadi sebagai
berikut :
(2) Pengangkutan kayu rakyat di luar jenis-jenis yang menggunakan SKAU
sebagaimana dimaksud pada Lampiran dan Nota sebagaimana dimaksud Pasal
10a Peraturan ini, menggunakan SKSKB cap ‘KR”.
Pasal II
(1) Ketentuan dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.51/Menhut-II/2006 jo.
Nomor P.62/Menhut-II/2006 tetap berlaku sepanjang tidak diubah dan tidak
bertentangan dengan Peraturan ini.
(2) Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : JAKARTA
Salinan sesuai dengan aslinya Pada tanggal :24 Agustus 2007
Kepala Biro Hukum dan Organisasi MENTERI KEHUTANAN,
ttd
SUPARNO, SH.
NIP. 080068472 H. M.S. KABAN
Salinan : Peraturan ini disampaikan kepada Yth. :
1. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian;
2. Menteri Dalam Negeri;
3. Menteri Perhubungan;
4. Jaksa Agung;
5. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia;
6. Pejabat Eselon I lingkup Departemen Kehutanan;
7. Direksi Perum Perhutani;
8. Gubernur Provinsi seluruh Indonesia;
9. Kepala Kepolisian Daerah seluruh Indonesia
10. Bupati/Walikota seluruh Indonesia;
11. Kepala Pusat Pengendalian Pembangunan Kehutanan Regional I s.d. IV;
12. Kepala Dinas Provinsi yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang Kehutanan di
seluruh Indonesia;
13. Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang
Kehutanan di seluruh Indonesia;
14. Kepala Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi Wilayah I s.d. XVII.
- 6 -
Lampiran : Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor : P.33/Menhut-II/2007
Tanggal : 24 Agustus 2007
DAFTAR JENIS-JENIS KAYU BULAT RAKYAT ATAU KAYU OLAHAN RAKYAT
YANG PENGANGKUTANNYA MENGGUNAKAN SURAT KETERANGAN ASAL USUL (SKAU)
No. Nama Perdagangan Nama Botani Keterangan
1. Akasia Acasia sp Kelompok akasia
2. Asam Kandis Celebium dulce
3. Bayur Pterospermum javanicum Hanya berlaku untuk Provinsi Sumatera
Barat
4. Durian Durio zibethinus
5. Ingul/Suren Toona sureni
6. Jabon/Samama Anthocephalus sp
7. Jati Tectona grandis Tidak berlaku untuk Provinsi Banten,
Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
DIY, Sulawesi Tenggara, NTT dan NTB
8. Jati Putih Gmelina arborea
9. Karet Hevea braziliensis
10. Ketapang Terminalia catappa
11. Kulit Manis Cinamomum sp
12. Mahoni Swietenia sp Tidak berlaku untuk Provinsi Banten,
Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
DIY, NTT dan NTB
13. Makadamia Makadamia ternifolia
14. Medang Litsea sp Hanya berlaku untuk Provinsi Sumatera
Barat
15. Mindi Azadirachta indika
16. Kemiri Aleurites mollucana sp Hanya berlaku untuk Provinsi Sumatera
Utara
17. Petai Parkia javanica
18. Puspa Schima sp
19. Sengon Paraserianthes falcataria
20. Sungkai Peronema canescens
21. Terap/Tarok Arthocarpus elasticus Hanya berlaku untuk Provinsi Sumatera
Barat
Salinan sesuai dengan aslinya MENTERI KEHUTANAN,
Kepala Biro Hukum dan Organisasi
Ttd,
SUPARNO, SH.
NIP. 080068472 H. M.S. KABAN
Nomor : P.33/Menhut-II/2007
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN
NOMOR P.51/MENHUT-II/2006 TENTANG PENGGUNAAN SURAT
KETERANGAN ASAL USUL (SKAU) UNTUK PENGANGKUTAN
HASIL HUTAN KAYU YANG BERASAL DARI HUTAN HAK
MENTERI KEHUTANAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendorong bergeraknya sektor Kehutanan
dengan dukungan ekonomi rakyat, perlu pengakuan,
perlindungan dan tertib peredaran hasil hutan dari hutan
milik/rakyat dengan Peraturan Menteri;
b. bahwa Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.51/Menhut-II/2006
jo. Nomor P.62/Menhut-II/2006 tentang Penggunaan Surat
Keterangan Asal Usul (SKAU) Untuk Pengangkutan Hasil Hutan
Kayu Yang Berasal Dari Hutan Hak, telah berlaku efektif sejak
tanggal 1 Januari 2007 dan perlu disempurnakan;
c. bahwa sehubungan dengan butir b tersebut di atas, perlu
menetapkan Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.51/Menhut-II/2006 tentang Penggunaan Surat
Keterangan Asal Usul (SKAU) Untuk Pengangkutan Hasil Hutan
Kayu yang berasal dari Hutan Hak dengan Peraturan Menteri.
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo.
Nomor 19 Tahun 2004;
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
Bagi Provinsi Papua;
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah;
4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang
Perencanaan Kehutanan;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang
Perlindungan Hutan;
7. Peraturan ...
- 2 -
7. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan
dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan
Hutan;
8. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota;
9. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 187/M Tahun
2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu jo. Nomor
171/M Tahun 2005;
10. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2005
tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi Susunan Organisasi dan Tata
Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia, sebagaimana telah
beberapa kali disempurnakan, terakhir dengan Nomor 66 Tahun
2006;
11. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2005
tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara
Republik Indonesia, sebagaimana telah beberapa kali
disempurnakan, terakhir dengan Nomor 91 Tahun 2006;
12. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.13/Menhut-II/2005
tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kehutanan,
sebagaimana telah beberapa kali disempurnakan, terakhir dengan
Nomor P.17/Menhut-II/2007;
13. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.26/Menhut-II/2005
tentang Pedoman Pemanfaatan Hutan Hak;
14. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.51/Menhut-II/2006 jo.
Nomor P.62/Menhut-II/2006 tentang Penggunaan Surat
Keterangan Asal Usul (SKAU) Untuk Pengangkutan Hasil Hutan
Kayu Yang Berasal Dari Hutan Hak;
15. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2006 jo.
Nomor P.63/Menhut-II/2006 tentang Penatausahaan Hasil Hutan
Yang Berasal Dari Hutan Negara.
M E M U T U S K A N :
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG PERUBAHAN KEDUA
ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.51/MENHUTII/
2006 TENTANG PENGGUNAAN SURAT KETERANGAN ASAL USUL
(SKAU) UNTUK PENGANGKUTAN HASIL HUTAN KAYU YANG BERASAL
DARI HUTAN HAK.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.51/Menhut-II/2006
tentang Penggunaan Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) Untuk Pengangkutan Hasil
Hutan Kayu Yang Berasal Dari Hutan Hak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor P.62/Menhut-II/2006, diubah menjadi sebagai berikut :
1. Ketentuan ...
- 3 -
1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga menjadi berbunyi sebagai berikut :
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :
a. Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang telah dibebani hak atas
tanah yang berada di luar kawasan hutan dan dibuktikan dengan alas titel atau
hak atas tanah.
b. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh
Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
c. Lahan masyarakat adalah lahan perorangan atau masyarakat di luar kawasan
hutan yang dimiliki/digunakan oleh masyarakat berupa pekarangan, lahan
pertanian dan kebun.
d. Hasil hutan kayu yang berasal dari hutan hak atau lahan masyarakat, yang
selanjutnya disebut kayu rakyat adalah kayu bulat atau kayu olahan yang
berasal dari pohon yang tumbuh dari hasil budidaya dan atau tumbuh secara
alami di atas hutan hak dan atau lahan masyarakat.
e. Kayu bulat rakyat adalah kayu dalam bentuk gelondong yang berasal dari pohon
yang tumbuh di atas hutan hak dan atau lahan masyarakat.
f. Kayu olahan rakyat adalah kayu dalam bentuk olahan yang berasal dari pohon
yang tumbuh di atas hutan hak dan atau lahan masyarakat, antara lain berupa
kayu gergajian, kayu pacakan, dan arang.
g. Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) adalah surat keterangan yang menyatakan
sahnya pengangkutan, penguasaan atau kepemilikan hasil hutan kayu yang
berasal dari hutan hak atau lahan masyarakat.
h. Dinas Provinsi adalah Dinas yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang
kehutanan di wilayah Provinsi.
i. Dinas Kabupaten/Kota adalah Dinas yang diserahi tugas dan tanggung jawab di
bidang kehutanan di wilayah Kabupaten/Kota.
2. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga menjadi berbunyi sebagai berikut :
Pasal 2
Hutan hak dan lahan masyarakat dibuktikan dengan :
a. Sertifikat Hak Milik, atau Leter C, atau Girik, atau surat keterangan lain yang
diakui oleh Badan Pertanahan Nasional sebagai dasar kepemilikan lahan; atau
b. Sertifikat Hak Pakai; atau
c. Surat atau dokumen lainnya yang diakui sebagai bukti penguasaan tanah atau
bukti kepemilikan lainnya.
3. Ketentuan ...
- 4 -
3. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi menjadi sebagai berikut :
Pasal 4
(1) Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) digunakan untuk pengangkutan kayu bulat
rakyat dan kayu olahan rakyat yang diangkut langsung dari hutan hak atau
lahan masyarakat.
(2) Jenis-jenis kayu bulat rakyat atau kayu olahan rakyat yang pengangkutannya
menggunakan dokumen SKAU adalah sebagaimana yang tercantum dalam
lampiran Peraturan ini.
(3) Pengangkutan lanjutan kayu bulat rakyat/kayu olahan rakyat menggunakan
Nota yang diterbitkan oleh pemilik kayu dengan mencantumkan nomor SKAU
asal.
4. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi menjadi sebagai berikut:
Pasal 5
(1) SKAU diterbitkan oleh Kepala Desa/Lurah atau pejabat setara/pejabat lain di
desa tersebut dimana hasil hutan kayu tersebut akan diangkut.
(2) Pejabat penerbit SKAU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
Bupati/Walikota berdasarkan usulan Kepala Dinas Kabupaten/Kota.
(3) Dalam hal Kepala Desa/Lurah atau pejabat setara/pejabat lain di desa tersebut
berhalangan, Kepala Dinas Kabupaten/Kota menetapkan Pejabat penerbit
SKAU.
5. Ketentuan Pasal 9 ayat (4) diubah sehingga berbunyi menjadi sebagai
berikut:
Pasal 9
(4) Mekanisme pendistribusian blanko SKAU dan pelaporan diatur lebih lanjut oleh
masing-masing Kepala Dinas Provinsi dengan mengacu pada Peraturan ini.
6. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi menjadi sebagai berikut:
Pasal 10
Kayu olahan produk industri primer hasil hutan kayu yang bahan bakunya berasal
dari hutan hak dan atau lahan rakyat, pengangkutannya dari industri tersebut
menggunakan Faktur Angkutan Kayu Olahan (FAKO) atas nama industri yang
bersangkutan sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Menteri.
7. Diantara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan tiga Pasal baru, yaitu Pasal
10a, 10b, dan 10c, yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal 10.a
(1) Jenis-jenis kayu Cempedak, Dadap, Duku, Jambu, Jengkol, Kelapa, Kecapi,
Kenari, Mangga, Manggis, Melinjo, Nangka, Rambutan, Randu, Sawit, Sawo,
Sukun, Trembesi, Waru tidak menggunakan dokumen SKAU maupun SKSKB
cap “KR”, tetapi cukup menggunakan Nota yang diterbitkan penjual.
(2) Nota ...
- 5 -
(2) Nota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa kwitansi Penjualan
bermeterai cukup yang umum berlaku di masyarakat.
Pasal 10.b
Hasil hutan kayu dari pohon yang tumbuh secara alami dalam kawasan hutan yang
berubah status menjadi bukan kawasan hutan (APL dan atau KBNK), tetap
dikenakan PSDH/DR.
Pasal 10.c
Kayu rakyat yang tumbuh secara alami pada lahan hak atau lahan masyarakat
tidak dikenakan PSDH/DR.
8. Ketentuan Pasal 11 ayat (2) diubah sehingga berbunyi menjadi sebagai
berikut :
(2) Pengangkutan kayu rakyat di luar jenis-jenis yang menggunakan SKAU
sebagaimana dimaksud pada Lampiran dan Nota sebagaimana dimaksud Pasal
10a Peraturan ini, menggunakan SKSKB cap ‘KR”.
Pasal II
(1) Ketentuan dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.51/Menhut-II/2006 jo.
Nomor P.62/Menhut-II/2006 tetap berlaku sepanjang tidak diubah dan tidak
bertentangan dengan Peraturan ini.
(2) Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : JAKARTA
Salinan sesuai dengan aslinya Pada tanggal :24 Agustus 2007
Kepala Biro Hukum dan Organisasi MENTERI KEHUTANAN,
ttd
SUPARNO, SH.
NIP. 080068472 H. M.S. KABAN
Salinan : Peraturan ini disampaikan kepada Yth. :
1. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian;
2. Menteri Dalam Negeri;
3. Menteri Perhubungan;
4. Jaksa Agung;
5. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia;
6. Pejabat Eselon I lingkup Departemen Kehutanan;
7. Direksi Perum Perhutani;
8. Gubernur Provinsi seluruh Indonesia;
9. Kepala Kepolisian Daerah seluruh Indonesia
10. Bupati/Walikota seluruh Indonesia;
11. Kepala Pusat Pengendalian Pembangunan Kehutanan Regional I s.d. IV;
12. Kepala Dinas Provinsi yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang Kehutanan di
seluruh Indonesia;
13. Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang
Kehutanan di seluruh Indonesia;
14. Kepala Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi Wilayah I s.d. XVII.
- 6 -
Lampiran : Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor : P.33/Menhut-II/2007
Tanggal : 24 Agustus 2007
DAFTAR JENIS-JENIS KAYU BULAT RAKYAT ATAU KAYU OLAHAN RAKYAT
YANG PENGANGKUTANNYA MENGGUNAKAN SURAT KETERANGAN ASAL USUL (SKAU)
No. Nama Perdagangan Nama Botani Keterangan
1. Akasia Acasia sp Kelompok akasia
2. Asam Kandis Celebium dulce
3. Bayur Pterospermum javanicum Hanya berlaku untuk Provinsi Sumatera
Barat
4. Durian Durio zibethinus
5. Ingul/Suren Toona sureni
6. Jabon/Samama Anthocephalus sp
7. Jati Tectona grandis Tidak berlaku untuk Provinsi Banten,
Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
DIY, Sulawesi Tenggara, NTT dan NTB
8. Jati Putih Gmelina arborea
9. Karet Hevea braziliensis
10. Ketapang Terminalia catappa
11. Kulit Manis Cinamomum sp
12. Mahoni Swietenia sp Tidak berlaku untuk Provinsi Banten,
Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
DIY, NTT dan NTB
13. Makadamia Makadamia ternifolia
14. Medang Litsea sp Hanya berlaku untuk Provinsi Sumatera
Barat
15. Mindi Azadirachta indika
16. Kemiri Aleurites mollucana sp Hanya berlaku untuk Provinsi Sumatera
Utara
17. Petai Parkia javanica
18. Puspa Schima sp
19. Sengon Paraserianthes falcataria
20. Sungkai Peronema canescens
21. Terap/Tarok Arthocarpus elasticus Hanya berlaku untuk Provinsi Sumatera
Barat
Salinan sesuai dengan aslinya MENTERI KEHUTANAN,
Kepala Biro Hukum dan Organisasi
Ttd,
SUPARNO, SH.
NIP. 080068472 H. M.S. KABAN
mentri kehutanan
MENTERI KEHUTANAN
REPUBLIK
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN
NOMOR : P.51/Menhut-II/2006
TENTANG
PENGGUNAAN
SURAT KETERANGAN ASAL USUL (SKAU) UNTUK PENGANGKUTAN HASIL HUTAN KAYU YANG
BERASAL DARI HUTAN HAK
MENTERI KEHUTANAN,
M E M U T U S K A N :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam
Peraturan ini yang
dimaksud dengan:
Pasal 2
Hutan
hak dibuktikan dengan alas titel/hak atas tanah berupa :a. Sertifikat hak milik, atau Leter C, atau Girik, untuk tanah milik; atau b. Sertifikat untuk Hak Guna Usaha atau Hak Pakai.
Pasal 3
Penggunaan
dokumen SKAU dimaksudkan untuk ketertiban peredaran hasil hutan kayu yang
berasal dari hutan hak, dan untuk melindungi hask masyarakat dalam
pengangkutannya.
BAB II
TATA CARA PENERBITAN SKAU
Pasal 4
Surat
Keterangan Asal Usul (SKAU) digunakan untuk pengangkutan kayu bulat atau kayu
olahan yang berasal dari hutan hak, yaitu:
Pasal 5
Pasal 6
BAB III
FORMAT DAN PENGADAAN BLANKO
Pasal 7
Pasal 8
BAB IV
PEMBINAAN DAN PENGENDALIAN
Pasal 9
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 10
SKSHH
yang diterbitkan untuk pengangkutan hasil hutan kayu yang berasal dari hutan
hak sebelum berlakunya Peraturan
ini, dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya masa berlaku SKSHH tersebut.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 11
Ditetapkan di : J A K A R T A
Pada tanggal : 10 Juli 2006
MENTERI KEHUTANAN,
Salinan
disampaikan kepada yth.: ttd. H.M.S. KABAN, SE., M.Si.
|
Copyright © 2007 Departemen Kehutanan Republik
|
Langganan:
Postingan (Atom)